Tatkala Sang Sulung Menjadi Adik
Semenjak kelahiran adik pertamaku, aku telah menjadi kakak selama 21 tahun. Artinya, majoritas dari hidupku memang berjalan dengan peran de facto sebagai satu-satunya sulung di rumah yang mengemban berbagai tanggung jawabnya dan bertumbuh-kembang dengan ‘mode berpikir’ ala seorang sulung. Dengan begitu, peran para kakak tak sedarah selama hidup menjadi begitu spesial bagiku karena dengan demikian akhirnya aku menjadi adik.
Tulisan ini hadir untuk merayakan mereka.
Referensi Memilih
Sewaktu masih kecil di Amerika, aku tak begitu ingat banyak interaksi dengan kakak kelas di sekolah. Meskipun di sana memang egaliter (langsung manggil nama, gak senioritas, dll), individualitas masing-masing orang mengakibatkan sedikit sekali konteks bersama. Lagipula, karena kesetaraan individu juga, tak ada sosok yang begitu terasa juga toh sebagai kakak. Mereka sama saja dengan teman pada umumnya.
Di Indonesia, penjenjangan antarangkatan jauh lebih terasa. Kakak kelas dan kakak tingkat — terutama yang jauh jaraknya —seolah hidup di dunia yang berbeda. Lalu, ketika mereka mengajak kita untuk memakai kacamata dan sepatu bot mereka untuk mencicip dunia asing tersebut, banyak sekali hal yang bisa dipetik.
Mengapa ini penting?
Aku coba ilustrasikan dengan cerita seorang temanku, sebut saja Berto. Berto sudah begitu sukses di usia muda karena mengikuti jejak-jejak ayahnya. Karena kondisi ekonomi keluarganya kala itu, ayahnya Berto adalah seorang yang terhitung cukup self-made, dan bahkan sudah financial freedom dan membiayai sekolah dirinya sendiri sejak SMA. Ayahnya Berto memang pandai melihat peluang dan bekerja ekstra keras untuk mencapai itu. Maka hiduplah keluarga Berto dengan nyaman karena jerih payah ayahnya di usia muda.
Berto jadinya memang cukup ber-privilege. Akan tetapi, privilege ini tak menjadikannya manja. Ia dekat dengan keluarganya, terlebih ayahnya, dan sangat paham perjuangan luar biasa dibalik bisnis yang menghidupkan mereka semua. Berto pun mengikuti jejak ayahnya, lalu mengembangkan usahanya sendiri. Ia punya referensi yang baik, modal awal yang baik, dan kerelaan untuk berikhtiar yang baik. Kurang apa lagi?
Tak mengherankan bahwa ia saat ini sudah cukup mapan nan stabil untuk melamar kekasihnya. (Good luck bro!)
Mungkin kita terbiasa langsung tunjuk jari dan mewajarkan itu semua karena sejak awal memang ber-privilege uang. Ya, itu memang betul. Akan tetapi, tak sedikit juga orang-orang dari keluarga kaya yang ujungnya masih bergantung pada keluarganya karena tak mampu usaha sendiri. Dengan begitu, kalau bicara input, menurutku yang jauh lebih mewah adalah privilege nonmaterial berupa referensi yang baik.
Kita dengan segala bekal kita akan sering sekali bertumbukan dengan berbagai peluang — hal yang memaksa kita untuk memilih. Contohnya, seorang Berto dengan uang dan ilmu dan referensinya barangkali bertemu dengan suatu keadaan yang mengharuskannya memilih inisiatif mana (di antara jutaan opsi barangkali) untuk menyuntikkan modal. Semua berisiko dan belum tentu benar. Namun, ia harus memilih.
Sejatinya, hidup ialah aglomerasi dari pertemuan antara bekal dengan pilihan. Jika kita ingin menjalani suatu perjalanan yang kurang-lebih mirip dengan seseorang, maka yang bisa kita lakukan adalah meniru pilihan-pilihannya.
Jika Berto ingin menghidupkan keluarganya melalui entrepreneurship selayaknya ayahnya, maka ia meniru gaya memilih ayahnya. Hal ini ia kuasai karena punya referensi.
Jika kamu ingin menjadi seorang cendekiawan terkemuka, maka tirulah pilihan-pilihan hidup dari cendekiawan yang dikagumi. Jika kamu ingin menjadi seseorang yang begitu harmonis menyeimbangkan olahraga dengan keluarga dengan karir, maka tirulah pilihan-pilihan hidup orang yang menurutmu berhasil melakukan itu. Jika kamu ingin menjadi orang yang santai dalam hidup, maka tirulah pilihan-pilihan hidup orang yang kamu jadikan standar referensi kesantaian.
Jika kamu ingin hidup dan berakhir semulia-mulianya sebagaimana Muhammad ﷺ dan sahabat-sahabatnya, maka tirulah pilihan-pilihan beliau ﷺ. Itulah yang dinamakan sunnah.
Lagi-lagi, jika kita ingin menjalani suatu perjalanan yang kurang-lebih mirip dengan seseorang, maka yang bisa kita lakukan adalah meniru pilihan-pilihannya— meskipun bekal kita belum tentu sama.
Bekal atau modal awal atau privilege (apapun itulah istilahnya) memang sangat penting, dan bisa jadi justru hal itu yang mengantarkan peluang-peluang dan kesempatan memilih kepada kita. Masalahnya, kita yang diciptakan beda-beda ini tak mungkin sama persis hidupnya dengan orang lain. Akan tetapi, bukankah tak apa juga untuk setidaknya mendekati?
Manusia yang mengarah ke surga tentu dimuliakan jauh berbeda dengan sebaliknya, toh.
Maka, jika kita kembali ke poin mengenai ‘kakak’, aku rasa meng-kakak-kan orang lain itu penting agar kita punya ilmu dan referensi. Dalam cerita sebelumnya, kebetulan, referensi hidup yang Berto inginkan ditemui pada ayahnya. Privilege ia memang begitu, dan tak salah untuk ia gunakan, tentu saja.
Beda halnya dengan ayahku yang menjadi seorang matematikawan. Aku tak ingin-ingin amat menjadi matematikawan. Jadi mungkin bukan pilihan-pilihan ayah yang akan aku jadikan referensi. Dengan begitu, aku melebarkan referensi-referensi tersebut dengan upaya sadar memilih (mengadopsi kali ya haha) kakak-kakak tak sedarah yang kutemui sepanjang hidup yang aku kagumi.
Kenapa Kakak?
Well, sebetulnya memperluas referensi tak harus dari sosok kakak tak sedarah, memang. Bisa jadi dari keluarga (makanya aku cantumin cerita Berto), teman sebaya, ataupun juga orang inspiratif yang lebih muda dari kita. Hanya saja, bagiku, peran kakak jauh lebih cenderung memunculkan sosok-sosok yang cukup dekat untuk relate, dan cukup senior untuk menjadi referensi atau teladan.
Dalam otoritas seorang kakak, kita merasa terlindung. Dalam kebijaksanaannya, kita merasa terdorong untuk berkembang. Dalam naungannya, kita merasa nyaman.
Barangkali, seumur hidup, peran-peran samar ini cukup terasa pada pundak aku yang sulung. Barangkali juga, aku mencari-cari pengalaman sebaliknya: menjadi adik.
Maka tak heran bila aku semenjak kecil sudah cukup mudah akrab dengan orang-orang yang lebih tua — karena dalam kepala aku sudah mengadopsi mereka menjadi kakak, haha!
Ini terasa sekali saat awal-awal baru pulang ke Indonesia di 2000-belasan. Ada sosok Kak Jack dan kakak-kakak lain di PAS ITB, juga sosok guru-guru (yang disebut kakak-kakak) di Rumah Belajar Semi Palar tempatku SMP. Sampai saat ini aku tetap memandang mereka kakak, dan sekali-kali masih bersilaturrahmi di dunia maya.
Fenomena ini semakin terasa di SMAN 5 dan ITB, yang penuh dengan orang-orang yang begitu keren. Jadi deh, kakakku banyak hahahaa. Aku nempel-nempel dengan mudah ke kakel/kating dan alumni, dan menghasilkan banyak sekali side quest aneh-aneh bersama mereka dari menjadi panitia nikahan mereka, sampai ikut bangun gerakan/organisasi bersama, sampai bepergian ke desa pelosok atau Jakarta atau sudut kota di Amerika Serikat yang diperkaya dengan obrolan-obrolan insightful-nya, dan cerita-cerita lain yang tak terhitung.
Kalau diingat-ingat, hidupku ya gak jauh dari pengaruh langsung atau tidak langsung kakak-kakak ini — baik referensi maupun kesempatan peluang yang mereka berikan.
Selain pengalaman-pengalaman yang diarungi bersama, jasa yang tak kalah penting dari kakak-kakak ini adalah kerelaannya untuk saya recoki di Instagram atau WhatsApp karena aku mah suka main reply-reply mulu hahaha. Sedikit-sedikit kepo atau khawatir atau perlu resource atau apapun ya (sepertinya) — aku cukup mudah terjun ke medan digital dan mengadu ke kakak-kakak ini. Tandanya kalau gaya typing-ku mulai maceuh dan agak merengek (apalagi penuh emoji), aku sedang meng-adik-kan diri sendiri.
Terkadang aku visualisasikan fenomena ini menjadi seorang anak kecil yang tiba-tiba perlu sesuatu lalu lari mendatangi kamar kakaknya lalu gedor-gedor pintu. Hal yang mudah dibayangkan karena adikku yang bungsu memang suka heboh begitu (dan aku karakternya cukup mirip ama dia).
Jadiii, aku sangat berterima kasih kepada kakak-kakak yang rela diganggu adik ini yang terkadang sok sibuk nan dingin tapi terkadang juga nyebelin dan bertutur manja ehehehe. Kebetulan si saya jarang bisa seperti itu jadi anggap aja itu kondisi istimewa🙏🏼.