Thanksgiving Tradisional di Kentucky

Refleksi Kentucky #2

Rakean Radya Al Barra
11 min readFeb 17, 2023

Ini bukan tentang makan ayam goreng btw.

Inilah lanjutan dari Refleksi Kentucky #1. Ketimbang mengedit video yang kujanjikan tiap minggu, aku malah asyik menulis. Oh well. Komitmen pribadi membuat tulisan pekanan di sini ternyata mengalahkan tagihan audiens YouTube.

Tapi sebelum cerita di judul, ada konteks berupa cerita Rakean kecil— seperti biasa.

Di mana pun itu, ibuku sang sosialita pasti nemu aja komunitas-komunitas untuk beraktivitas. Ya, jamak: lebih dari satu komunitas. Dengan begitu, di setiap tempat yang pernah aku tinggali pasti masih ada kenalan akrab ibu. Kentucky tentu saja bukan pengecualian.

Salah satu komunitas yang diikuti oleh ibu di Kentucky adalah Friendship International, sebuah perkumpulan wanita dari seluruh dunia yang tinggal di daerah Central Kentucky. Setiap pekan ada gathering sesama ibu-ibu ini yang aku pun kurang paham agendanya apa.

Deskripsi dari situsnya sih begini:

The purpose of Friendship International is to help make the adjustment to the American way of life easier, to provide activities of interest, and to facilitate building cross-cultural friendships.

Melalui pertemuan-pertemuan Friendship International ini, ibuku akrab dengan seorang ibu paruh baya pemain piano yang kami panggil Miss Julie. Sebetulnya beliau sudah menikah (jadi harusnya Mrs.) dan nama akhirnya pun bukan Julie, tapi entah kenapa kami memanggilnya demikian.

Anyway…

Entah bagaimana cerita awalnya, Miss Julie ini datang ke apartemen kami setiap pekan untuk mengajarkan piano kepada aku dan adikku, Hanif, tanpa meminta imbal apapun. Buku-buku piano pemula pun beliau sumbangkan ke kami. Beliau sangat lembut pula; tidak pernah marah meskipun kami kurang rajin dan banyak salahnya hehe.

Aku ingat Miss Julie sangat baik hati dalam segala hal. Nada suaranya selalu lembut nan encouraging. Beliau pasti sabar dan justru menghibur jika kita mulai putus asa karena salah atau berkali-kali tidak bisa — guru yang ideal. (Sayang sekali aku tidak melanjutkan ber-piano)

Karena semua hal itu, Miss Julie menjadi salah satu orang yang aku rasa wajib ditemui saat aku kembali ke Kentucky 10 tahun setelah terakhir meninggalkannya. Ternyata ibuku masih menyimpan emailnya, jadi beberapa hari sebelum berangkat dari Philadelphia, aku mengontaknya.

Untungnya masih aktif.

Awalnya, aku menawarkan untuk bertemu santai di Lexington, tapi beliau malah mengundangku untuk menghadiri acara Thanksgiving Meal keluarganya di kota sebelah. Wow.

Aku mengiyakan.

Thanksgiving adalah tradisi pascapanen yang ceritanya mengakar dalam sejarah Amerika — atau setidaknya itu yang aku pelajari waktu SD dulu. Ia adalah anniversary dari selebrasi para pendatang Dunia Baru berkulit putih bersama suku Wampanoag yang merupakan “warga asli” dari daerah New England (Amerika sebelah timur laut) pada tahun 1621. Mereka berselebrasi sebab mendapatkan panen yang memuaskan setelah tahun yang penuh rintangan. Selebrasi tersebut juga merupakan acara simbolis pertemanan para pendatang dengan para Wampanoag. Dengan begitu, mereka amat bersyukur — amat berterima kasih ke Tuhan. Alhasil, Thanksgiving, waktu untuk sadar giving thanks, dirayakan di Amerika pada Kamis ke-4 bulan November setiap tahunnya.

Meskipun sekarang rasanya banyak yang memandang Thanksgiving sebagai sekadar ajang libur dengan diskon merajalela yang menjadi pentas kapitalisme nirsyukur (ahem, Black Friday, ahem), ternyata banyak juga wargi Amerika yang menseriusi Thanksgiving sebagai waktu mudik dan bersama-sama mensyukuri segala hal dalam kehidupan. Bagi mereka yang teguh pada tradisi, Thanksgiving merupakan momen utama untuk keluarga. Keluarga Miss Julie termasuk golongan tradisional ini.

Bagaimana tidak? Beliau memang sangat tradisional. Keluarganya pun Kristen tulen. Bahkan, suaminya Miss Julie ternyata adalah presiden dari sebuah universitas khusus calon pendeta. Presiden! (Aku pun malah baru tau dari Ibu setelah laporan kalau berhasil email-an dengan Miss Julie)

Lucunya, meski statusnya sedemikian agung, sang presiden ini datang sendiri dari kota sebelah tempat bekerjanya untuk menjemputku. Aku memanggilnya Tim. Sambil aku memasukkan tas dan tripod bekas futu-futu apartemen lama ke bagasinya, ia tersenyum pangling. “You sure are a man now,” katanya.

Aku sulit memprosesnya. Selain dijemput oleh presiden universitas, aku diundang ke acara keluarga tradisional yang segitu pentingnya. Amat terhormat rasanya. Padahal, siapa aku?

Sedan silvernya pun melaju.

Sepanjang perjalanan, kami berbicara asik tentang keluarganya. Tim, dengan aksen semi-koboi khas Southern States, bercerita tentang masa kecilnya di Georgia. Cerita ini lalu berlanjut ke cerita-cerita tentang waktu membawa keluarga ke India sewaktu ditugaskan menjadi misionaris di sana. Aku pun berbagi cerita tentang Indonesia, relate dengan segala dinamika negara berkembang yang Tim ceritakan (dan ternyata rindukan). Dari sini aku tau kalau anak perempuannya, yang dulu pernah ketemu, kini sedang menjalankan tugas misionaris di Afrika. Like father like daughter.

Dengan setelan rapi ditambah rompi puffer abu, Tim benar-benar memancarkan aura karismatik. Meskipun pembawaannya sangat humble ala Southerner, cara bicaranya penuh wibawa. Vibe-nya mirip profil si paman-yang-entah-kenapa-tau-segalanya-dan-direspect-semua-orang. Aku yang kepo tentu bertanya ke sana kemari, yang membuat obrolan kami semakin asik.

Selama perjalanan, tanpa disadari, latarnya berubah dari perkotaan menjadi padang rumput nan manis, dibatasi rapi oleh pagar kayu. Peternakan-peternakan kuda khas Kentucky juga mulai tampak. Hijau di tanah dan biru di langit mendominasi indra. Ternyata aku kesampaian juga berjumpa dengan countryside. Alunan suara John Denver dalam “Country Roads” mulai memainkan diri dalam kepala.

Jalanan pedesaan sepi ini sangat mempermudah perjalanan. Siang itu, jalannya lancar sekali. Meski sudah berbeda kota administratif, kita sampai di rumahnya setelah hanya sekitar 25 menit.

Aku pernah mengunjungi rumah mereka tepat sekali sebelumnya, lebih dari sedekade yang lalu. Ceritanya, keluargaku sempat diundang ke sana bersama satu keluarga Indonesia lain yang anak-anaknya juga diajar piano oleh Miss Julie. Aku kurang ingat agendanya. Yang aku ingat tempatnya besar, di tengah-tengah alam, dan kita sempat mencoba grand piano-nya. Sebatas itu.

Dan saat si sedan silver sampai di gerbang, ingatanku mundur malu-malu.

Tempatnya berkali-kali lipat lebih indah dari bayangan dalam memori. Konsepnya betul-betul country house: rumah megah berdinding kayu dengan aksen pilar putih raksasa. Desain rumah dua tingkat itu memberikan kesan old-fashioned tapi tetap welcoming dengan palette warna yang segar.

Ada juga yang jauh lebih mewah dari rumahnya: taman luas di sekelilingnya. Terdapat bangunan-bangunan kecil yang tersebar di seisi taman, sama-sama kayu bercat merah seperti rumah utama. Sepertinya gudang atau bengkel. Tanaman-tanaman tertata rapi — tanda dikelola dengan serius — menghiasi sebuah jalan kecil cobblestone yang mengajak tetamu untuk mengeksplorasi sang taman. Andai bukan musim gugur, pohon-pohon besar pun pasti ikut meramaikan. Di sebelah luar pagar kayu yang mengelilingi propertinya adalah bukit-bukit hijau milik para hewan ternak tetangga. Beuh. Memang rumah pedesaan yang luar biasa.

country house

Saat masuk, aku tak kaget bahwa interior rumahnya pun sama-sama mewah. Nuansanya old-school dengan segala-dari-kayu dan ornamen-ornamen yang dikoleksi dari seluruh dunia. Buku memenuhi rak-rak ruangan. Di lorong menuju dapur, kami melewati ruangan musik yang ada grand piano-nya itu. Ia ditemani oleh berbagai instrumen lain dari sitar hingga beragam drum hingga harpa: betul-betul inventori yang kaya.

Akhirnya setelah belok di ujung koridor, kita sampai di dapur. Miss Julie tengah menjinnakan oven. Dari sepenglihatanku, beliau tidak berubah sama sekali.

Dengan apron menggantung dari lehernya, beliau menengok ke arah kami dan tersenyum lebar. “Ohhh Raka you’ve finally come back!”

“I’m glad to be back!”

Kita cepat akrab kembali, bernostalgia bersama. Sambil masak, Miss Julie menanyakan kabarku dan keluarga, juga bertanya tentang programku di Amerika dan bayangan masa depan. Beliau juga mengeluarkan foto-foto kami zaman dulu. Sungguh gemay.

Miss Julie benar-benar tidak berubah. Energinya, ramahnya, nada suaranya, semuanya persis seperti apa yang aku ingat. Jelang sepuluh tahun, seolah-olah beliau tidak bertambah umur. Malah aku yang banyak berubah. Beliau berkomentar bahwa aku yang sekarang jadi mirip betul dengan Ayah.

Lalu datanglah tamu lain. Ada anaknya lelakinya, Jonathan, bersama istrinya, Teddy. Dulu waktu aku masih di Lexington, mereka ada kerjaan di Thailand. Kemudian, ternyata, ada juga sesama tamu dari luar keluarga: dua mahasiswa yang Thanksgiving tahun ini gagal mudik. Namanya DJ dan Heather. Bayangkan gagal mudik lebaran sampai rektor atau kepala sekolahmu mengundangmu secara personal ke acara keluarganya sendiri. Sungguh humble.

Sambil Miss Julie memastikan detail-detail terakhir karya masaknya sempurna dengan bantuan Teddy, aku berkenalan dengan orang baru ini dan ngobrol ngalor-ngidul ditemani buah-buahan dan apple cider. Karena aku orang Indonesia, kami cepat menemukan topik. Pasangan yang lama di Thailand adalah sesama pesinggah Asia Tenggara; tentu banyak kesamaan dan perbedaan yang kita eksplor. Selain itu, aku tertarik sekali mendengarkan cerita-cerita soal dinamika perkuliahan dari mahasiswa di sini. Begitu asing dan baru. Dari mereka, aku jadi tahu kalau ternyata di sana cukup banyak juga mahasiswa-calon-pendeta asal Indonesia, sehingga mereka familiar dengan negaranya.

Tak lama kemudian, makanan sudah siap dihidangkan. Kita berpindah dari dapur ke ruang makan. Ternyata, Miss Julie mengingat bahwa keluargaku muslim dan cukup strict soal status halal makanan. Hal ini lumayan kugelisahkan dalam pikiran sebelumnya, tapi ternyata tidak perlu khawatir. Thanksgiving kali ini, Miss Julie menyiapkan menu khusus dalam rangka mengundang si tamu yang muslim, sehingga makanannya beliau pastikan bisa aku makan.

Terharu dong aku.

Ada kalkun. Ada buncis. Ada mashed potatoes. Ada mashed sweet potatoes. Ada bread dressing. Ada jagung. Ada gravy. Ada cranberry sauce. Ada cranberry dressing. Lengkap deh, menu tradisional dari the quintessential American Thanksgiving. Bisa aku makan pula :D.

Tapi sebelum kita makan, sesuai tradisi cenah, masing-masing dari kita diminta untuk menyebut satu hal spesifik yang kita syukuri. Menarik. Ada yang bersyukur atas pekerjaannya yang akhirnya menjadi stabil. Ada yang bersyukur atas nikmat kesehatannya. Ada yang bersyukur atas keluarganya. Dan akhirnya sampai ke giliranku.

“So, Raka what are you thankful for?”

Tanpa jeda, aku ucapkan syukurku. “I’m thankful to God for the opportunity to come back to the States, to come back to Kentucky, and in doing so better understand the meaning of home.”

Beurat.

Suara tulus Miss Julie membalasnya, “Wow, that’s a really great reflection, Raka. We’re glad you’re here, you deserve it!”

Di Thanksgiving itu, aku juga jadi sadar bahwa banyak sisi dari Amerika yang belum begitu aku sentuh.

Sembari mengelilingkan piring dan bumbu (“Could you pass the salt please?”, Amerika bgt wkwk), keluarga Miss Julie menjelaskan tiap-tiap makanan tradisional Thanksgiving ala Amerika. Ternyata ada trivia dan latar belakangnya masing-masing. Salah satunya adalah cerita soal resep istimewa bread dressing ibunya Tim, yang diajarkan kepada semua menantunya, walau kali ini Miss Julie memilih untuk tidak memasaknya dengan cara itu haha. Rupanya ada sedikit perbedaan tradisi soal makanan di tiap daerah.

Poin bicara yang penuh wawasan lokal ini benar-benar mematahkan stigma bahwa Amerika tidak punya budaya dan tradisi sendiri. Jauh dari pencakar langit dan pasar bebas, ternyata masih ada keluarga-keluarga tradisional yang menghadirkan sisi Amerika yang berbeda dalam kehidupan sehari-hari mereka. Oiya, plus enak benerr masakannya. Kontras sekali dengan makanan food truck hambar di kota-kota besar.

Dan makanannya ternyata bukan “hanya" yang kusebut tadi.

Tiba-tiba muncul teh hitam dengan pumpkin pie, apple pie, brownie pie, dan sekumpulan oatmeal cookies, lengkap dengan whipped cream. Gilak. Tradisionalnya memang begitu, katanya: banyak macam kue khas Thanksgiving. Aku dianjurkan untuk mencoba semuanya mumpung di sini. (Fun fact: pada hari yang sama, aku diundang makan lagi di dua rumah orang Indonesia yang kudatangi untuk silaturrahmi. Pantes ae selama IISMA makin gendud.)

nyam

Sambil makan, kita ngobrol lagi. Kali ini, aku lebih diam dan memerhatikan para dewasa berbicara, terutama Tim, Miss Julie, Jon, dan Teddy. Mungkin sepele, tapi aku terkesan dengan pembicaraan amat teknis-dan-detail terkait kehidupan. Si pintu bermasalah di rumah si Jon, misalnya. Atau permasalahan instalasi sistem bel rumah. Atau perihal rencana menyambut tamu penting. Atau serba-serbi tentang belanja untuk persiapan musim dingin. Dan lain-lain. Aku merasa terimersi dalam somebody else’s home, tanpa menggangunya. Lucu juga.

Setelah kekenyangan mulai mereda, aku pun nimbrung dalam pembicaraan mereka, kepo tentang macam-macam per-hidup-di-Amerika-an yang amat teknis. And they were absolutely welcoming. Selain itu, mereka juga kaya akan cerita kehidupan internasional. Perjalanan dalam negeri dan luar negeri seolah sangat biasa bagi mereka semua, entah kenapa. Menarik sekali.

Setelah itu, kita semua diajak jalan-jalan oleh tuan rumah ke taman di sekelilingnya untuk menghirup udara segar. Tapi ternyata terlalu singkat kalau di taman saja. Jadi, dari taman, kita keluar untuk mengelilingi area sekitar. Para dewasa mengomentari mobil-mobil antik dan dekorasi rumah antik dengan tingkat spesifikasi yang tidak aku pahami. Aku senyum aja, menikmati perjalanan dan status bocahku. Setiap tetangga yang kami jumpai pasti menyapa atau setidaknya melambaikan tangan. Orang desa memang ramah-ramah ya, di mana-mana juga.

kampung ala amerika

Kemudian, karena mulai sore, kita kembali ke rumah. Dan akhirnya, acara bersama ditutup dengan ngeteh (lagi) sambil bermain permainan kartu trivia bernama Chronology (susah banget tapi Tim jago pisann; akhirnya dimenangkan tipis oleh DJ). Ini bukan tradisi Thanksgiving Amerika, katanya, tapi memang digemari keluarganya ketimbang menonton American Football (yang biasa orang lakukan sambil Thanksgiving meal). Kita juga disuguhi macam-macam cokelat dan kacang almond, lagi-lagi bukan tradisi umum, tapi kebaikan hati Miss Julie and fam aja wkwk. Gitu aja terus.

Tau-tau dah sore banget.

Beres deh, sedih.

Aku berpamitan dan berterima kasih kepada Miss Julie dan semua kenalan baruku, juga diingatkan oleh mereka untuk keep in touch via email. Meskipun sebenarnya ini semua sesuai banget sama karakter mereka, aku masih kaget dengan keramahan keluarga Miss Julie dan betapa baiknya mereka karena telah mengundangku ke acara keluarga tradisional yang se-inti itu, dipersiapkan khusus pula.

Alhamdulillah.

Aku lalu kembali ke sedan silver bersama Tim dan meninggalkan sang country house, entah itu terakhir kalinya atau bukan.

Malam itu, aku merenungkan kembali kata-kata tentang syukur yang sebelumnya aku ucapkan spontan:

“I’m thankful to God for the opportunity to come back to the States, to come back to Kentucky, and in doing so better understand the meaning of home.”

Aku memilih untuk mengolah pikir sebab kata-kata hasil insting biasanya bisa jauh lebih diamplifikasi oleh refleksi. Selain persoalan peluang ber-IISMA yang tertata dengan begitu rapi dna indah dalam catatan takdirku, aku jadi kembali sadar bahwa selama ini memang selalu begitu: indah. Apalagi masa-masa kecilku. Sambil alam luar meluncurkan angin kencang, alam pikirku sibuk mengingat. Dan seperti biasa, ia mengajak hati. Kali ini hati mau diajak sejalan. Jika ia punya mulut, aku yakin ia tersenyum.

Banyak betul yang perlu kusyukuri. Ya Allah, tepat sekali segala lika-liku hidupku ini. Gembira yang sempurna, ujian yang sempurna, jalan yang sempurna, beban yang sempurna. Alhamdulillah.

Hamba yang hina-dina ini begitu terperhatikan, rupanya. Dan lancangnya, ia mudah sekali lupa berterima kasih: terlampau banyak kesah dan keluh, malah. Amat angkuhlah sang hamba yang penuh ekspektasi, mengira bahwa dirinya paling tau kisah hidup yang paling benar itu seperti apa.

Ya. Terlepas dari segala keasingan dan keresahan yang kurasakan sebagai anomali anak bangsa yang dibesarkan di luar negeri, kunjunganku ke Lexington mengingatkanku bahwa barangkali aku tidak akan menjadi aku yang segini aku-nya tanpa masa itu. Aku terpikirkan tempat-tempat di sini yang sempat kusinggahi dan sebaliknya senantiasa singgah dalam diriku, menjadi bagian dari kolase kompleks karakterku. Aku teringat masa-masa SD yang begitu unik dan betapa mengakar pengaruhnya, hingga saat ini.

Tapi itu cerita untuk lain waktu.

Refleksi Kentucky will be back.

--

--