The Master of Seeking Forgiveness

Renungan Sayyidul Istighfar

Rakean Radya Al Barra
6 min readSep 20, 2024
Photo by Kevin Crosby on Unsplash

Seharusnya salah satu perisai utama dari berlaku lalai dan lancang adalah rasa malu yang penuh hormat terhadap Sumber segala berkah.

Do you have no shame as to bite the Hand that feeds you?

Dzikrullah

Photo by Max Berger on Unsplash

“Apakah kalian tahu apa itu dzikrullah?” bertanyanya. Para sekawan bergegas merogoh kantongnya untuk mencatat.

“Dimensi dzikrullah yang paling utama adalah menginternalisasi bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (65:12)”

“Yang kedua adalah ridho terhadap ketetapan yang Allah buat. (89:27–28)”

“Yang ketiga adalah meresapi dan yakin bahwa kita akan kembali ke Allah. (24:42).”

“Yang keempat barulah ibadah ritualistik, tapi ia baru menjadi bermakna ketika ketiga sebelumnya — amalan hati — telah teguh. Dan barulah dzikrullah ini membuat hati tenang. (13:28)”

Para sekawan mengangguk-ngangguk, berusaha memahami konsep nonmaterial yang membingungkan ini, berhipotesa bahwa banyak kemunduran manusia bersumber dari tak terpenuhnya empat elemen itu dengan lengkap.

Salah satu pembiasaan baik yang dimulai keluargaku adalah dzikir pagi dan petang. Kala itu, kami mengontrak di rumah kecil yang tak begitu jauh dari sekolah sehingga pagi hari tak mesti terburu-buru untuk berangkat. Maka, sepulangnya para lelaki dari dinginnya ritual subuh, kami duduk melingkar kecil di atas ubin dan membuka buklet-buklet kecil dzikir pagi dan petang (entah hadiah dari pengajian atau nikahan siapa) dan merapalnya bersama. Lingkaran yang serupa diulangi menuju gelapnya hari, setelah kami berenam terkumpul kembali dari keterceraiberaian masing-masing.

Sekarang, meskipun jarak dan kesibukan duniawi membuat ritual tersebut sulit untuk diulangi, ia telah tertanam menjadi gerakan bibir dan lidah yang setidaknya aku tahu aku bisa lakukan sendiri (kalau pagi dan sore biasanya dalam perjalanan).

Begitu banyak esensi dan manfaat dari dzikir pagi dan petang, yang tertulis lengkap dalam buklet-buklet dan artikel-artikel yang berseliweran di mana-mana — seharusnya tak ada alasan lagi untuk tidak setidaknya mengetahuinya sebagai sunnah yang begitu magis.

Lebih baik lagi kalau tidak sekadar mengetahui, tentu saja — terkadang memang banyak terhenti di titik itu. Sering juga kita berhenti di titik tahu karena dirasa sedang tidak bisa menjalankannya dengan sempurna (entah karena waktu atau mood). Akan tetapi, aku temukan bahwa pembiasaannya tidak harus selalu sempurna, toh manusia tak 100 persen mindful 24/7. Karena taat yang dikejar (bukan kekhusyukan atau sensasi!), taat itulah yang sebisa mungkin diusahakan. Satu-dua doa dan kalimat baik tentu lebih baik dari tak melakukannya sama sekali.

Yang menarik mataku pada masa awal pembiasaan membolak-balikkan lembaran buklet-buklet dzikir itu adalah salah satu supplication yang berjudul ‘Sayyidul Istighfar’. Artinya ‘penghulunya istighfar’ atau Inggrisnya (kerennya) ‘the master of seeking forgiveness’. Istilah istighfar tentu saja familiar bagi kita — langsung teringat astaghfirullah al azhiim. Tentu saja ini kalimat yang baik, artinya, “Aku memohon ampun kepada Allah Yang Maha Agung.” Yang menarik bagiku adalah bahwa Sayyidul Istighfar, yang notabene adalah puncak dari memohon pengampunan, mempunyai diksi yang begitu kompleks dan kaya dibanding istighfar yang familiar bagi kita.

Maka aku coba selami, dan hingga kini kuterus menemukan mutiara baru dalam kepekatan maknanya.

Sayyidul Istighfar

Rapalan ini dimulai dengan penuh adab — sebuah deklarasi atas posisi Tuhan dan posisi sang pemohon ampunan sebagai hamba-Nya. Sang pemohon ampunan memanggil Allah dengan sifatnya sebagai Rabb, yakni Pemelihara, dilanjut peniadaan segala Ilah (sembahan) selain-Nya, dan mengakui-Nya sebagai Pencipta sementara sang pemohon hanyalah seorang ‘abd (hamba).

Terbesitlah dalam kepala seorang anak yang memohon pada orang tuanya, seorang karyawan yang memohon pada atasannya, seorang peminta yang memohon pada seorang berada. Permohonan-permohonan antarmanusia ini saja seringkali memunculkan kalimat-kalimat mengenai begitu jauhnya jarak antara pemohon dengan yang dimohon — untuk memicu kasih (dan kasihan). Lalu, jika kasih tersebut saja bisa tercurahkan dengan begitu indah, apalagi Kasih dari Rabb yang Maha Pengasih?

Selanjutnya (dan bagian yang paling kusuka), inti jiwa sang pemohon meraung dengan ikhlas, “I’m trying!”, mencari afirmasi sang Penciptanya atas keterlaksanaan kontrak yang tertulis atasnya.

Jauh sebelum permohonannya, sang hamba dalam wujud asalnya telah ditanya alastu birobbikum (Bukankah Aku Tuhanmu?) yang ia afirmasi dengan bala syahidna (Betul, kami bersaksi). Begitulah ‘ahd atau perjanjian dalam kontrak itu. Lalu saat beranjak baligh, sang hamba telah dikenakan tanggung jawab yang amat berat yang disertai dengan konsekuensi-konsekuensi yang pasti — sebuah hubungan vertikal nan sakral bernama wa’d.

Sebagai sahaya yang sekadar sahaya, hamba yang sekadar hamba, manusia yang sekadar manusia, sang pemohon mengingat ‘ahd dan wa’d ini, menyesali ketidaksempurnaannya dalam menunaikan sang kontrak yang amat berat itu, dan hanya bisa jujur ketika ia berkata telah melangkah atas janji-janji tersebut secara mastato’t— sekadar dan semampunya. Karena tentu mengakui telah memenuhi kontrak tersebut sepenuhnya jelas adalah kebohongan, bukan? Maka sang hamba menyodorkan sop sayur hidangannya yang hina, mengakui “I’m trying, and this is all I’ve got. I’ve done the best I could.

Sebagai seseorang yang seringkali menuntut juga banyak menghardik diri atas kekurangan-kekurangannya — seolah tak pantas mendapat impian dan ampunan — aku sangat merasa takjub bahwa dalam doa ini Rasul ﷺ telah mengajarkan kita untuk bisa mengakui usaha kita yang alakadarnya ini. Mastato’tum. Dan bahwa Allah ta’ala tentu akan mengafirmasi, menerima, dan mengampuni. Rasanya seperti hembusan napas yang melegakan, membawakan pundi-pundi waswas dengannya, menyisakan kosong nan tenang yang siap diisi-Nya dan hanya-Nya.

Karena bukankah hanya seruling yang kosong yang dapat mendesahkan rindu yang sebenarnya?

Selanjutnya, dengan penuh adab, sang pemohon menempatkan kejahatan dan kebaikan pada tempatnya, meminta perlindungan dari sharr atau kejahatan yang tak ubahnya sifat setan yang berasal dari dirinya (tak elok untuk mengklaim bahwa itu berasal dari Allah!). Ia pun mengakui segala nikmat yang telah ia terima, mengatribusikannya pada Allah semata, lalu penuh malu mengakui bahwa ia telah ber-dhanb, berdosa.

Alangkah malunya! Telah disediakan bagi sang hamba begitu banyak nikmat yang tak terbatas tetapi ia memilih lancang! Sejatinya setiap dosa adalah bentuk dari tak bersyukur dan tak hormat kepada Pencipta segala nikmat dan kebaikan. Telah disediakan baginya waktu dan tenaga dan tubuh dan semesta, tetapi malah ia pakai untuk melanggar. Semua itu ia akui dan sebagai konsekuensi memohon pengampunan.

Faghfirlii. Ampunilah dosaku.

Fa inna hu laa yaghfiru adh-dhunuuba illaa Ant. Sesungguhnya tiada yang dapat mengampunkan segala dosa melainkan Engkau.

Bagiku, Sayyidul Istighfar distrukturkan dengan begitu elok dan penuh adab. Sempurna pula panjangnya, yang mampu menampung begitu banyak karsa dalam hanya sekian kalimat. Beruntung sekali sebuah rangkaian kata bernilai artistik sedemikian ini telah diajarkan Rasulullah ﷺ kepada umatnya.

Kuanggap ia amaaat artistik karena mampu mengilustrasikan inti hubungan hamba-Pencipta yang begitu personal. Tiap-tiap kalimatnya mengisyaratkan tauhid dan menempatkan baik hamba maupun Pencipta pada tempatnya, tak lupa juga mengafirmasi upaya hina-dina hamba dalam mastato’t.

Sang pemohon ampunan hanyalah ciptaan dan abdi, hanya mampu menjalankan janjinya semampunya, dan sumber dari segala kesalahan yang bahayanya menimpa dirinya sendiri. Sementara itu, Allah adalah Rabb, Ilah, Khalik, dan Sumber Nikmat. Maka amatlah pas bahwa konklusi atas pemosisian seperti ini adalah permintaan ampun dari sang pemohon kepada satu-satunya yang dapat memberikan itu.

Dan dengan tertutupnya, terhapusnya, kesalahan-kesalahan tersebut, harapannya adalah agar pemosisian tadi semakin terjalankan. Dan yang tersisa itu hanya. Hanya. Hanya. Hanya Engkau.

Wallahu a’lam.

Kajian berkaitan dengan Sayyidul Istighfar dari Ust. Adi Hidayat dan Ust. Omar Suleiman.

--

--