Tomorrow: Renungan Konsep Hari Esok
(Agak tapi Bukan) A Year in Review
Bagiku, mau akhir Desember atau pertengahan April, hari pada kalender pada intinya terasa sama-sama aja — tak terkesan bahwa ada yang begitu perlu dirayakan secara khusus dengan alasan tanggal dan bulannya sudah tua.
Tapi Desember suka mengingatkan akan ke-“loh-cepet-banget-ya-waktu-aduh-aku-dah-ngapain-aja-sih-emang?”-an yang mendorong refleksi yang tak jelek-jelek amat. Maka jadilah tulisan ini.
And just so you know that this is gonna be a fun one, tulisan ini berawal dari diskusi menuju larut malam bersama teman sebangku SMA-ku, Rajji, setelah catch-up yang berselang tiga bulan dari obrolan terakhir bersamanya, yang menghasilkan salah satu tulisan yang kuanggap among my best di platform ini.
“So, what was the one thing that you got in 2023?”
Apa satu hal yang kamu dapet di 2023?
Rajji menanyakan semacam hal itu di awal Desember, yang membuatku bingung karena rasanya terlalu cepat untuk merangkum buah perjalanan dari satu tahun genap menjadi satu penemuan utama. Dan di situlah manusia linglung ini baru menyadari bahwa ternyata sudah Desember, bahwa Spotify Wrapped sudah merajalela di sosmed, dan bahwa memang sudah waktunya untuk pertanyaan tersebut dilayangkan.
Spontan, aku menjelaskan tentang penemuan bahwa atap potensiku terasa terangkat — penemuan yang ekspansif. Tahun ini mengakselerasi interaksiku dengan berbagai orang dengan potensi impact besar yang betul-betul nyata dan terasa relevan bagi perjalanan pribadiku. Jadinya atap tersebut terasa reachable dalam ruang hidup yang sedang kubangun. Rajji lalu tersenyum, kelihatan betul-betul menyerap apa yang kukatakan, probably thinking that this answer was like the most Rakean thing ever.
Ia lalu memberikan jawaban pribadinya yang secara konsep terbalik dariku — tidak ekspansif tetapi kontraktif.
Katanya, “Urang mah, ngerasa kalo lulus dalam artian literally lulus itu beda sama perasaan beneran ‘lulus’.” Aku berusaha menelan kata-katanya, dan ia melanjutkan, “Dan urang ngerasa kalo urang alhamdulillah bisa duaduanya.”
Kurasa kumengerti.
Perasaan ‘lulus’ yang dimaksud Rajji adalah rasa tak tersisa hutang, tak tersisa penyesalan, dan tak tersisa benang kusut yang menggantung di pikiran maupun perasaan. Hak-hak orang lain di sekitarnya terasa sudah cukup tertunaikan, dan kewajiban-kewajiban diri yang tersisa tinggal dilanjutkan sampai lulus. Ini terasa dari cerita-ceritanya tentang berbagai kiprahnya di beragam dunia berbeda, which is just classic Rajji.
“Berarti, kenyang?”
“Bukann, bukan kenyang,” kata Rajji, “Kalo kenyang mah kebanyakan makan. Urang mah udah cukup aja — bisa aja makan lagi tapi gak hungry atau desperate untuk itu.”
“Ah, I see. Berarti, satiated.”
Yeah that’s a better word.
Aku berusaha beranalogi lagi, “Maksudnya, maneh udah ada closure ya? Bukunya udah sampai epilog?”
“Nah iyah. Buku ‘adolescent life Rajji’ tinggal bab-bab terakhir, tapi sebenernya udah puas ngebacanya. Bukunya juga ga ngegantung jadi ga ada hunger buat mau cepet-cepet ngambil buku lanjutannya. Udah jadi a really good standalone book. Terus kalo urang udah tua, bisa inget lagi kalo urang pernah ada stage yang seapik ini dan udah — otomatis bakal jadi ngerasa cukup weh.”
Terpancarkan dari gelagat santainya bahwa ia berterus-terang. Ia benar-benar qanaah, merasa cukup. And knowing Rajji-si-dulu-paling-mengejar, I’m damn proud of this guy for that.
Meskipun aku iri dengan tawakkal dan qanaah tenangnya, aku jadi kembali sadar kalau Allah betul-betul merangkai character arc yang sempurna untuk perjalanan kami masing-masing. Sulit untuk dijelaskan di sini tanpa konteks hidup panjang kami masing-masing, tapi rasanya aku dengan atapku dan Rajji dengan lulusnya adalah arc tahun ini yang terlalu tepat dan terlalu apik — memang takdir yang indah.
Lalu, segala obrolan tentang potensi, kepuasan, dan refleksi tahunan membuatku teringat tentang satu khutbah Imam Omar Suleiman yang pesannya amat melekat — yang kemudian kuceritakan ke Rajji.
Esok, Tomorrow, Al-Ghad
Ternyata, makna dari esok atau al-ghad dalam Alquran itu berbeda dengan penggunaan ‘esok’ kita sehari-hari. Ia tak merujuk ke hari selanjutnya, tapi Hari Selanjutnya.
Dan hebatnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam adalah bahwa masyarakat jahiliyah diubahnya sedrastis itu sampai-sampai sebuah umat tertinggal dijadikannya satu generasi penuh orang yang memandang ‘esok’ dengan makna akhirat. Bersiap untuk tomorrow, seperti yang sering dilantunkan imam-imam di Al-Hasyr ayat 18, berarti betul-betul bersiap hingga dapat ‘lulus’ dalam keadaan tenang.
“Bener,” Rajji memproses ceritaku dengan amat perhatian, terdiam menganga, “Bisa jadi eta teh isukan!”
Bisa jadi Hari Selanjutnya memang besok.
Sementara, isukan, isuk, atau besok yang amat kasual kita lempar dalam terminologi sehari-hari menaruh setitik ke-sok-tau-an akan kepastian masa depan. Dan seharusnya, kita memang merasa bahwa Hari Esok itu sedekat esok.
Tapi apa kita sudah merasa cukup siap untuk Esok?
Sebuah jawaban iya untuk pertanyaan tersebut adalah next level dari ketenangan Rajji yang sudah at peace with himself di makna duniawinya — dan menjadi aspirasi semua muslim. Kapan kita bisa mengatakan ke diri sendiri bahwa kita at peace with ourself dan tak tersisa hal yang harus diremedial di dunia ini? Kapan kita bisa yakin bahwa lautan khilaf dan keliru kita sudah tertutupi dengan maslahat dan kebaikan? Kapan kita bisa merasa betul-betul aman secara eksistensial?
Rasa-rasanya hanya akan pernah ada rasa itu di surga.
Maka kepuasan dan rasa-telah-beres tersebut memang tidak dirancang untuk kehidupan di dunia. Didesainlah hidup ini dengan inspirasi berupa Hari Esok yang senantiasa tergantung depan kita, mendorong continuous improvement yang tak ada batasnya.
Dengan begitu, seketika konsep ‘atap’ dan ‘lulus’ terasa ikut terkait dalam konsep ‘Esok’. Ketenangan Rajji dalam kelulusannya dari amanah-amanah adalah sneak peek terhadap kelezatan dari perasaan sebenar-benarnya tenang — yang hanya tersedia di Hari Esok bagi mereka yang berhasil mempersiapkannya. Dan karena Hari Esok bisa jadi sedekat esok untuk setiap harinya, kita perlu terus-menerus menaikkan dan mengejar atap masing-masing: memaksimalkan nikmat yang telah kita terima.
Elok sekali ya buah pikir hari itu.
And that brings us back to the end of this year.
Soal atap, sudah dijelaskan.
Soal Esok:
Setelah yang kujalani tahun ini (dan seumur hidup sih), rasanya aku masih tak sedisiplin para sahabat dalam mengartikan al-ghad. Dan aku bersyukur bahwa masih banyak pengingat di sekitar yang bisa memantik itu kembali dan mendorongku untuk tak mengerdilkan diri di bawah atap yang menjulang tinggi itu. Dan jika aku tak kunjung teringatkan, mungkin artinya aku kurang sering meminta untuk ditunjukkan.
Kemudian, soal lulus:
Meski aku tak se-‘lulus’ Rajji dalam dinamika-dinamikaku tahun ini, setelah berefleksi menuju hari-hari akhir tahun, aku rasa aku cukup mendapatkan closure dari berbagai hal yang menggantung (baik yang recent, maupun berbulan-bulan, atau pun berskala tahun) — bahwa there’s nothing else really needed to be said or done dan aku berdamai. Lagipula, rasanya banyak sekali dari mimpi-mimpiku yang terjawab tahun ini.
Dan meskipun itu seolah kontraktif dan bertolak belakang dengan filosofi Hari Esok, rasanya si konsep ‘lulus’ lebih memberikanku ruang untuk mengulas kembali fokus alokasi energi. Ketika sebagian telah tertunaikan dengan cukup, selebihnya harus digencarkan. “Ketenangan sebagian” pun turut memotivasi dan mengingatkan bahwa ketenangan yang lebih sejati masih ada lagi.
Dan itu semua membuatku optimis untuk beranjak ke buku selanjutnya.
So, selamat menunaikan ibadah hidup, teman-teman pejalan!
Dan jangan sekali-kali engkau mengatakan terhadap sesuatu, “Aku pasti melakukan itu besok pagi,” kecuali (dengan mengatakan), “Insya Allah.” Dan ingatlah kepada Tuhanmu apabila engkau lupa dan katakanlah, “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepadaku agar aku yang lebih dekat (kebenarannya) daripada ini.” — Al Kahf, 18:23–24