Wanginya Saf Pertama
Contoh Trigger Kecil yang Mengubah Perilaku
Salah satu keunikan masjid di dekat kostku adalah bahwa karpet untuk saf pertamanya begitu wangi. Aku gak begitu pandai mendeskripsikannya, tapi kira-kira wanginya semacam manis rosy yang kental. Uniknya, ia tak tercium jejaknya di bagian masjid manapun. Hanya saf pertama.
Tapi sebelumnya aku mau cerita dulu tentang masa sekolah.
The Proximity Paradox
Kenapa ya, orang yang rumahnya deket sekolah sering telat?
Sebagai orang yang harus menempuh perjalanan 30–50 menit (12 km) sekali jalan setiap hari sewaktu SMA, aku cukup sering bingung mengapa orang-orang yang sering telat itu justru yang rumahnya dekat. Aku yang rumahnya tergolong jauh malah sering datang pagi sekali, lalu tidur di bangku sembari menunggu teman-temanku berdatangan. Heran.
Beberapa tahun kemudian, aku agaknya menjilat ludah sendiri saat aku menempuh dua mata kuliah di gedung yang jaraknya hanya dua blok dari apartemenku di Philadelphia. Seharusnya sama sekali tak sulit untuk menggeser tubuhku ke kelas, lagipula kelas-kelasnya tak pagi amat. Nyatanya, sepertinya itulah saat-saat di hidupku yang aku paling sering telat hahaha.
Coba diingat-ingat: apakah kamu notice fenomena ini? Atau jangan-jangan sering mengalami?
Saking seringnya aku temukan fenomena ini dalam hidupku, aku memberinya nama: the proximity paradox (mainly because they both start with p and have x in them so it sounds pretty nice). Jangan di-search though, karena ntar yang muncul bakal beda wkwk.
Dugaanku, proximity, atau kedekatan, menjadi salah satu faktor yang berkontribusi terhadap ilusi keluangan waktu. Dalam contoh sebelumnya, orang yang tinggal dekat sekolah (atau aku yang tinggal dekat gedung kuliah) berpikir, “Ah cuma butuh 5–10 menit buat nyampe ke sana, jadi aku gak perlu repot-repot amat berangkat lebih awal.” Ini menciptakan kesan bahwa waktu yang tersedia masih berlebih, yang sering menyebabkan penundaan keberangkatan hingga momen terakhir yang mungkin. Ketika ini dibiasakan, udah deh jadi kultur telat.
Secara empiris, mungkin proximity paradox ini ada kaitannya dengan planning fallacy, sesuatu yang kupelajari di mata kuliah manajemen proyek dan juga decision processes. Planning fallacy adalah sesuatu kesesatan berpikir yang terjadi ketika kita menyangka bahwa kita cukup pandai dalam membuat rencana. Nyatanya, kita buruk sekali dalam memperkirakan berapa banyak waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu task. Ini berlaku umum, baik untuk pekerjaan rumah, tugas kuliah, proyek pembangunan, atau pun perjalanan ke sekolah.
Dengan adanya planning fallacy ini, proximity paradox dapat terjadi ketika sang siswa atau mahasiswa yang tinggal dekat tempat belajarnya meremehkan panjang perjalanannya dan juga ‘biaya tersembunyi’ (e.g. waktu siap-siap, memakai sepatu, menunggu penyeberangan, dll.) sehingga akhirnya ia berangkat lebih lambat dari yang seharusnya.
Ketika aku pikir-pikir, aku heran mengapa aku baru sadar akan kerentanan pribadiku terhadap fenomen-fenomena ini sewaktu kuliah di Philadelphia, padahal ada contoh dekatnya yang terjadi lima kali sehari — berangkat ke masjid untuk salat berjamaah.
Melawan Paradoks dengan Wewangian
Pengaruh setan rupanya kuat sekali menerjang kaum lelaki di saat-saat menjelang adzan — seolah ada saja halangan atau pembenaran yang membuat begitu berat untuk segera beranjak dari tempat beraktivitas demi salat berjamaah di masjid. I am no exception to this.
Terkadang, perlu dorongan eksternal (misalnya seorang ibu yang cerewet, aatu teman-teman yang sholeh) untuk membuyarkan fokus duniawiku dan memaksa shifting context menuju panggilan ilahi. Atau di saat-saat iman sedang tinggi, terkadang kitalah pendorong eksternal bagi orang lain dan kita harus cukup sabar untuk mem-push mereka untuk berangkat bersama.
Karena rumahku termasuk cukup dekat dengan masjid, jika aku pikir-pikir kembali, sepertinya aku sering-sering aja meremehkan waktu tempuh ke masjid — rasanya dekat-dekat aja jadi harusnya aku bisa on time aja untuk takbiratul ihram yang memulai salat. Pemikiran-pemikiran seperti inilah yang berulangkali membuat telat — tau-tau sudah rakaat keberapa atau tau-tau sudah selesai. Classic proximity paradox.
Sekarang, sebagai penghuni kost yang gak punya dorongan eksternal dalam bentuk manusia lain untuk menyentilku agar cepat-cepat ke masjid, aku jadi harus agak mengandalkan rahmat Allah dan usaha sendiri hahaha. Sebab, dari kostku, aku sebetulnya tinggal menyeberang untuk pergi ke masjid — kedekatan yang cukup rawan untuk proximity paradox.
Untungnya, ada satu keunikan dari masjid ini yang menurutku cukup membantu men-trigger perilaku yang lebih ideal dariku. Sebagaimana yang kuceritakan di awal, entah mengapa, karpet saf pertama dan hanya karpet saf pertama memiliki wangi yang khas. Ia cukup konsisten hadir dan cukup segar juga, seolah ada seseorang yang menyengaja memeliharanya. Entah itu dari DKM, jamaah yang iseng, atau keajaiban dunia — aku tak begitu peduli. Yang jelas, setiap kali aku berhasil merebut posisi di saf pertama, wangi ini menjadi semacam bonus — “Congrats, you made it!”
Menurutku trik seperti ini cukup sederhana, tetapi cukup powerful. Hal sesepele wewangian bisa menjadi sedikit ‘motivasi tambahan’ di benak untuk mendorong suatu perilaku ideal (dalam kasus ini, hadir di masjid tepat waktu). Niatnya bukan hanya untuk mencium parfum juga, kok, toh kayaknya wanginya gak sespesial itu juga sampai orang akan menyengaja datang. Ia hanya trigger sensorik yang mem-program otak untuk semakin mengaitkan perilaku ideal dengan sentimen positif.
Dengan begitu, meskipun motivation is a myth and discipline is everything, kita agaknya harus mewajari sifat manusia yang rentan terhadap berbagai kesesatan berpikir seperti proximity paradox dan planning fallacy, lalu menyikapinya dengan solusi dan insentif sederhana.
Kalau dipikir-pikir, dunia kita bisa kita isi dengan ‘wewangian di saf pertama’ lainnya: aroma kopi yang langsung bikin kita membuka buku di pagi hari, stiker warna-warni di kalender untuk mengingatkan jadwal donor darah, setelan olahraga yang siap menyambut pulang di dekat pintu kamar kost, dan lain-lainnya.
Semuanya adalah bentuk nudge sederhana, atau tanda-tanda kecil yang mengikat perilaku ke arah yang lebih ideal. Karena otak kita terbentuk dari asosiasi-asosiasi sensorik semacam ini, ada baiknya bisa kita exploit — bukan karena kita tidak disiplin, tetapi karena kita realistis dan efektif. Lagipula, keindahannya terletak di situ gak sih? Melawan kesesatan berfikir dan bertindak tidak harus selalu dengan motivasi besar atau disiplin besi, tetapi bisa lahir dari hal-hal kecil yang konsisten mengingatkan kita untuk bergegas menuju keidealan.
