You Are Not a Success Machine

Rakean Radya Al Barra
4 min readNov 1, 2024

--

Mengingat bahwa majoritas dari pembacaku di sini adalah sesama muda-mudi yang tentu saja tengah mengejar sesuatu, sepertinya asyik juga untuk sedikit menyinggung workaholism. ‘Workaholisme’, layaknya alkoholisme, adalah sebuah adiksi nyata yang semakin saja memporak-porandakan kehidupan pribadi kita semua.

Berhubungan dengan ini, pada suatu hari, di tengah procrastinating mencari tontonan untuk menemani proses pengosongan piringku, aku tetiba melihat thumbnail menarik dari video channel Harvard Business Review berisikan Arthur Brooks, seorang profesor yang telah kuketahui dan hormati semenjak mempelajari pemikirannya di kelas business ethics terdahulu. Judulnya, Fighting Workaholism: You Are Not a Success Machine.

Yang langsung menarik perhatianku adalah pernyataan di awal bahwa adiksi terhadap pekerjaan — atau setidaknya kalau tidak mau mengakui itu adalah adiksi, hal ini mencakup segala obsesi yang menunggalkan pikiran dan atensi kita terhadap pekerjaan — sebetulnya bukan adiksi terhadap kerja itu sendiri. Kerja, ya, mengeluarkan effort dan tak jarang melelahkan. Menurut Brooks, yang menjadi adiksi kita adalah adiksi kesuksesan.

Kesuksesan yang didefinisikan sebagai “achieving something of merit and being rewarded for it” adalah sesuatu yang terfasilitasi melalui segala macam jerih payah usaha dan proses mengunggulkan diri atas semua orang lain. Kita rela bekerja keras dan sikut-sikutan karena pencapaian pascanya membuat kita merasa hidup. Selain disanjung, diapresiasi, dipandang, dan sebagainya, ada kegembiraan intrinsik dalam diri yang tersenyum dengan nyaman saat pencapaian seolah membayarkan usaha-usaha keras kita.

Lalu, ketika pencapaian semakin sulit diraih — entah karena kita sudah perlu ‘dosis’ kesuksesan yang lebih tinggi atau karena persaingan membuat pencapaian kita terpandang relatif kecil — kita kehilangan pompa-pompa dopamin yang begitu sedap di kepala. Selanjutnya, secara mekanistik, kita mencari-cari segala cara untuk mendapatkan high tersebut kembali. Kita cemas akan kemungkinan kehilangannya selama-lamanya. Apa lagi kalau bukan adiksi?

Dan kita menjadi sekadar mesin sukses penggerak roda pekerjaan yang ditelan oleh awan hitam berfokus tunggal. Kita menjadi sebatas cangkang hampa dari potensi besar manusia.

Photo by Isis França on Unsplash

Solusinya?

Untuk bisa mempertahankan kemurnian diri sebagai manusia dengan definisi yang jauh melampaui mesin kerja, Prof. Brooks menawarkan solusi yang tak kusangka: love with humans.

Selain menyarankan untuk mengeksplorasi sisi spiritual pribadi, ia menyarankan untuk merefleksikan kembali hubungan-hubungan kita dengan sesama manusia dan betul-betul mengapresiasi maknanya. Entah itu susah-susah menyengaja untuk sekadar bertemu teman, kembali menyediakan waktu untuk keluarga, atau menginisiasi hubungan-hubungan istimewa yang telah dibuat hambar waktu, interaksi genuine dengan sesama manusia akan menyadarkan bahwa hidup itu jauh lebih dari perasaan spesial yang menyertai segala pencapaian hasil workaholisme.

Jangan-jangan kita lebih banyak deal friends ketimbang real friends? Atau jangan-jangan kita lebih banyak curi-curi waktu di tengah kesucian silaturrahmi kita untuk malah memikirkan pekerjaan-pekerjaan yang tentu saja sebagian besar kita kejar untuk sang adiksi success high? Atau jangan-jangan ada hak-hak sosial orang lain terhadap kita yang tak kita tunaikan dan perangkap hustling ini adalah azab pembalasannya?

Dan memangnya, apa sih yang dikejar?

Aku pun terharu saat di dalam video tersebut Prof. Brooks menceritakan saat-saat ia menunda pulang dan bertemu anak-anaknya demi ‘bekerja’ di masa lalu, lalu memandang kamera dengan tatapan penuh penyesalan ironis dan berkata, “The kids got their revenge, they grew up.”

Takdir memang memanifestasikan dirinya kurang-lebih searah dengan itikad. Hidup tanpa inisiatif untuk menjadi seutuhnya manusia tentu akan membalas niritikad tersebut dengan menangguhkan segala yang menjadikan kita manusia yang lebih manusia — hingga tersisa jasad pekerja saja. “Mati lebih cepat,” kalau kata Nadin Amizah, mah.

Maka jangan segan untuk membangun kembali jembatan-jembatan yang telah rapuh. So get out there. So start going to those places in the reels you all send in the group chat. So pick up your phone and call your parents. So leave the work notifications for a while on the weekends. So stumble over your words when you see your crush on the street. So go and turn a stranger into your friend. So find a hobby that isn’t about climbing any ladder. So find your tribe in the most unlikely of places.

So stop trying to be special and start trying to be human.

Sure, mungkin hal-hal tersebut belum tentu menghasilkan rasa kesuksesan yang begitu lezat dan kita sama-sama idamkan. Namun, ia betul-betul penawar atas adiksi workaholisme yang begitu berpusat secara tak sehat pada diri sendiri.

Photo by Park Troopers on Unsplash

This was a delightful surprise of a video. I hope you watch it and enjoy it as much as I did :)

Karena hampir 4 bulan kemarin tulisannya cukup senada semua, aku pikir saat ini bisa kembali ke tabiatku sebagai penutur ulang ide-ide orang lain dalam bentuk artikel macam begini. Mudah-mudahan bisa menyongsong mode produktif-tapi-mindful yang sedang dituju.

Bacaan lanjutan:
https://hbr.org/2024/09/a-workaholics-guide-to-reclaiming-your-life

--

--

Rakean Radya Al Barra
Rakean Radya Al Barra

Written by Rakean Radya Al Barra

ngumbara rasa; berbagi tiap jumat pukul 10 WIB

Responses (8)