The Final Month

Bulan Hijriah Terakhir

Rakean Radya Al Barra
6 min readJun 14, 2024
Photo by Rafael Garcin on Unsplash | (Also, ok grammar nazi, di KBBI ialah ‘Zulhijah’, but I will use ‘Dzulhijjah’)

Entah mengapa, bagiku, waktu-waktu suci pada tahun hijriah kali ini datang bersamaan dengan tantangan internal yang cukup meresahkan batin. Atau setidaknya membuat banyak tanya tentang diri sendiri dan ke-sok-tulusan-nya dalam beramal.

Mungkin ini terjadi karena bulan-bulan tersebut memang menjadi trigger dari mode berpikir macam demikian, atau barangkali juga karena itu bahasa Allah untuk membuatku tersentil sehingga bersegera pada kegiatan-kegiatan yang melatih untuk mesra dengan-Nya (ibadah) — hal yang juga kupikir kucukup lalai dalam proses internalisasinya.

Pasalnya, tahun lalu, aku merasa dapat menjalankan Dzulhijjah yang membuatku merenungkan niat secara sehat, mengerahkan otot-otot pengorbanan kepemilikan, membangun ritme harian yang tenang, dan bisa berlama-lama berhari-hari dalam menyendiri dengan-Nya. Satu penyebabnya mungkin karena kala itu aku telah berkomitmen memutuskan diri dari dunia Bandung dan dunia media sosial, jadi memang prakondisi itu bukan solusi yang scalable. Habisnya, kalau bicara waktu-waktu suci, nilainya terletak pada pribadi yang senantiasa terbangun setelahnya, kan?

Tapi, kok, lebay amat sih, Rak? Toh, ini bukan Ramadhan yang ramai dimeriahkan orang. Dan kebanyakan pada santai juga, kan?

Jangan Dianaktirikan

“Dia ini waktu yang menyaingi 10 malam terakhir Ramadhan, tapi kok orang-orang gak sadar? Itu tugas kita — membuatnya meriah!”

Adha 1443 H di Salman ITB

Aku ingat diriku begitu menggebu-gebu ketika bernarasi kepada rekan-rekanku dahulu mengenai keistimewaan Dzulhijjah dan peran kita — sebagai panitia Ramadhan dan Idul Adha — untuk memeriahkannya. “Narasi Dzulhijjah” ini jugalah satu faktor yang mempersuasi temanku Rama untuk mengemban jabatan sebagai Kepala Departemen Adha pada kepanitiaan P3RI tersebut, jadi bisa dibilang aku sudah cukup lihai dalam menjadi naratornya.

Namun, di sini aku tak ingin berlama-lama bercerita mengenai keutamaan-keutamaan bulan ini. Para asatidz, guru-guru kita, jauh lebih mampu menerangkan keutamaan dari bulan Dzulhijjah (terkhusus 10 hari awalnya) dan cara meraih keutamaan tersebut. Yang jelas, seharusnya siang-siang dalam hari-hari ini terisi dengan semangat khusus: lidah yang basah dengan nama-Nya, jemari yang sibuk dalam peringatan-Nya, tubuh yang berharmoni dengan semesta untuk-Nya.

Per rilisnya artikel ini, seharusnya masih ada 3–4 hari yang tersisa dari 10 hari terbaik ini. Ayo, manfaatkan!

Fase bulan terfavoritku, the waxing crescent, juga hadir tiap malamnya — toh ini memang hari-hari awal dari kalender bulan. Maka dalam perjalanan-perjalanan pergi dan pulang di malam hari, aku suka menengadah untuk menengok sang bulan yang tersenyum.

Akhir-akhir ini aku merasakan ada sebuah pesan untukku di langit. Selama sekian bulan terakhir, waxing crescent, atau bulan sabit muda (yang warnanya relatif terang karena terjadi setelah bulan baru) entah kenapa muncul bagai senyum tepat bersamaan dengan momen-momen puncak chaos -ku — chaos kerjaan, chaos fisik, chaos batin. — One of my most important writing pieces

The Father of the Prophets

Ritual-ritual Haji dan momentum Adha erat kaitannya dengan kehidupan sang Abul Anbiya, Nabi Ibrahim ‘alaihissalaam. Ini adalah isyarat untuk betul-betul memerhatikan sepak terjang kehidupannya (dan keluarganya) — yang penuh dengan ujian. Menyertai cerita-cerita ujian ini juga adalah kisi-kisi untuk lulus.

Nabi Ibrahim ‘alayhissalaam memberikan contoh pendewasaan dalam iman yang sesungguhnya. Keresahan berperadabannya membawa beliau ‘alayhissalaam menuju perenungan, eksplorasi, hingga kesimpulan tauhid laa ilaaha ilallah. Dan tak hanya itu. Manusia setingkat Nabi Ibrahim pun mengakui kelemahannya — dan dengan begitu terus meminta tanda agar dapat dikuatkan imannya.

Kesemuanya tentu menjadikannya dan keluarganya suatu rujukan mulia dalam sejarah semesta. Ketakutan akan api, kesedihan akan pengorbanan, kekhawatiran akan kehilangan — semua yang di luar akal rasional manusia beliau hadapi dengan iman kepada Allah dan kehendak-Nya. Dan beriringan dengan ikhtiar — itulah cara lulus dari para ujian duniawi.

We called to him, “O Abraham, you have fulfilled the vision.” Indeed, We thus reward the doers of good. Indeed, this was the clear trial. (37:105–106)

Dalam surat tersebut juga, para Nabi, yang ditempa dengan cobaan-cobaan dahsyat, dideskripsikan dengan titel tertinggi keikhlasan: mukhlasin, orang-orang yang terpilih dan disematkan dengan kemurnian ikhlas yang begitu advanced. Di surat berikutnya, orang-orang mukhlas ini bahkan dikecualikan oleh syaithan sendiri dari target goyahannya (38:82–83), karena mereka memang terlalu pure untuk dinodai.

Demikianlah para mukhlasin, dianugerahkan ikhlas oleh Allah sebab kualitas dirinya dalam menjalani cobaan yang menerpa. Turun dari tingkat tersebut adalah para mukhlisin, mereka yang berusaha untuk ikhlas — suatu golongan yang seharusnya kita kapabel untuk gapai, meski akan terus digoda dan dibuat waswas oleh syaithan.

Dzulhijjah mengingatkan — mukhlisin saja bisa jadi adalah standar yang jauh sekali bagi kita yang masih mikir-mikir, “Qurban gak yaa?” dengan berat hati hingga menjelang hari-H Adha. Atau pun yang qurban tapi tak ada upaya untuk menginternalisasi pengorbanannya dan benar-benar dapat mengakui diri ikhlas.

Menunggu Cahaya Itu

Photo by Joshua Sortino on Unsplash

Dengan merefleksikan segala hal itu — ditambah asupan regular cerita-cerita dahsyat para sahabat — aku menjadi khawatir bahwa aku belum cukup ikhlas beramal. Melihat kanan-kiriku sekarang pun aku sadari bahwa beban-beban orang lain sepertinya lebih sulit, hingga lebih berhak atas hasil-hasil perjuangan dibandingku. Sementara itu, akulah si bodoh nan bengong yang hanya mampu memberisikkan papan tuts laptop untuk memberikan ilusi beramal pada diri sendiri. Kerdil.

Lagipula, baik ‘ilusi’ maupun ‘diri sendiri’ seharusnya tak masuk dalam kosa kata seorang ‘ibad yang tulus. Kerdil kuadrat.

Sejak Ramadhan kemarin, aku cukup berkutat dengan problema ketulusan ini. Barangkali aku banyak mengeluh tentang hal ini karena ia ternyata dinotis juga oleh temanku.

“When I’m not at my best, what do you observe?”

“I noticed that you frequently doubt your sincerity in your actions and tend to rely solely on yourself to reconcile with it.”

Maka selepas Ramadhan, aku berulang kali ada episode sedih memikirkan tindakan-tindakanku yang masih penuh noda ke-aku-an. Lalu aku bertanya pula ke diri sendiri, apakah sedih-atas-kekurangikhlasan tersebut juga tidak ikhlas?

Episode-episode ini cukup beresonansi dengan satu lagu yang sejak beberapa tahun lalu sering dinyanyikan oleh Ibu.

Selalu aku jatuh cinta
Saat aku pejamkan mata
Seketika ringkih cahaya
Menekuni retakkan hati

Judulnya “Tafsir Cinta”, karya Kang Panji Sakti. Aku dan ibuku sama-sama menyukai pembawaan lagu ini oleh Kikan Namara, vokalis Cokelat, karena menambah dimensi yang membuat lagunya begitu berat.

Aku cintai kesakitan ini
Sambil menunggu cahaya itu
Bertegur sapa dalam dada

Ada aspek entah apa yang seolah secara magis membuatku menangis kalau mendengar lagu ini dengan seksama — hal yang membuat beberapa perjalanan motor selepas Ramadhan dan juga di hari-hari belakangan ini penuh dengan pandangan buram dan masker basah.

Jangan kau ambil tangisan ini
Jika hanya ini yang kau bagi
Jangan keringkan air mataku
Jika dengan-Nya kubisa membacamu

Aku memohon-mohon, kalau pun sulit dalam beramal dengan ikhlas, jangan sampai tercabut juga kesedihan ketika gagal demikian. Karena itu barangkali tanda pada diri sendiri bahwa aku masih berusaha. Dan mukhlis adalah proses — usaha untuk mencapai derajat murni. Perspektifnya bukan terlarut dalam despair itu, tapi memohon agar minimal ada detak keikhlasan dalam dada meski bunyinya tak seberapa. Dan bersabar menunggu cahaya itu untuk kembali mekar merekah sesuai fitrahnya.

Para mukhlisin beneran — sahabat dan salafus shalih — barangkali agaknya tidak menjadikan berpikir dan bertanya berlebihan mengenai keikhlasan ini sebagai penghalang untuk terus bersegera dalam beramal secara mukhlisina lahuddiin. Pasalnya, dari sananya mereka sudah berprasangka baik kepada Allah bahwa amalan mereka layak dan mereka akan senantiasa ditunjukkan, jadideh mereka terus berusaha. Syarat ditunjukkan pada jalan-jalan-Nya adalah usaha (29:69), after all.

Ketulusan dan keikhlasan utamanya tak terletak pada apa yang kita rasakan, melainkan perbuatan-perbuatan yang bikin kita bisa lantang berkata, “saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri” (3:52–53). Pengakuan ini diiringi dengan penuh kehati-hatian (taqwa), yang hanya menyematkan pengakuan tersebut terhadap husnuzan pada Allah semata akan kelayakan amalan-amalan tersebut, bukan karena ulah sendiri.

Siapkah kita berusaha? Siapkah kita berhusnuzan? Siapkah menjadi hamba yang dibanggakan Allah?

Niscaya sebentar lagi akan datang hari kebanggaan Allah, hari yang Allah sendiri bangga atas penghambaan hamba-hamba-Nya. Hari yang padanya terkumpul lautan manusia, sibuk mensemestakan dirinya dalam doa. Tak lagi ada arti dari suku bangsa — bahasa-bahasa mereka yang masing-masing begitu indah melebur menjadi bahasa alam yang tulus. Ialah hari yang padanya seorang pemberi berita gembira lagi pemberi peringatan memberikan khutbah terakhirnya: pesan komprehensif tak terbandingkan yang menandai sempurnanya risalah. Ialah hari terbaik dalam setahun.

Ialah Arafah.

Hajj adalah Arafah layaknya shalat adalah doa.

Akankah tercatat diriku sebagai bagian dari harmoni semesta hari itu?

Mari kita usahakan. Mukhlisina lahuddiin.

--

--

Rakean Radya Al Barra

mengumpulkan buah perjalanan | berbagi tiap jumat (and sometimes wednesdays)