The Salaryman: Mahasiswa Sekarang Demen Amat sih Mikirin Kerja
Tulisan yang Dibuat Gara-Gara Jakarta
What am I gonna end up doing for the rest of my life?
Pada level tertentu, kita-kita pemuda-pemudi pasti pernah merasakan the weight of the above question entah itu sekadar sentilan saat teringat kelulusan yang semakin dekat atau dalam renungan serius tengah malam bersama teman tongkrongan.
Like it or not, kerja adalah salah satu centerpiece dalam budaya berkehidupan kita. Paling tidak, buktinya adalah bahwa pertemuan seseorang dengan teman atau keluarga kerap diiringi dengan pertanyaan, “sibuk apa akhir-akhir ini?”, “sekarang kerjanya apa?”, “didamel di mana ayeuna mah?” yang menjadi begitu sentral terhadap identitas.
Fenomena tersebut menandakan bahwa di mata orang banyak, we are what we work. Benar atau salahnya — juga baik atau tidaknya — persepsi tersebut tidak akan dibahas di sini (another time deh).
Untungnya, orang-orang mudah paham identitas-kerja-nya seorang mahasiswa dan puas dengan jawaban “sekarang lagi kuliah semester sekian di jurusan anu”. Identitasnya nyaman tak terancam dalam safety net status mahasiswa yang mewajarkan segala kegagalan, ketidaksiapan, dan sifat kekanak-kanakan.
Sayangnya, lanskap dunia sepertinya sedikit beralih.
Badai Kampus Merdeka, kesempatan magang, dan berbagai persiapan- pascakuliah-sejak-dini tiba-tiba membanjiri sudut-sudut kampus sehingga mahasiswa seolah diekspektasi untuk segera siap diserap industri. Mungkin mulainya ketika mendadak banyak konten di luar sana tentang 5W1H bekerja dari tipz en trikz career readiness hingga workshop ber-cohort tentang hardskill dan softskill ter-“trendy”.
Kalau kamu mahasiswa saat ini, you know what I mean lah ya. Ada saja mereka-mereka yang terlihat begitu cemerlang meniti pathway karirnya: menjadi peserta langganan webinar dan workshop, meraup sertifikasi online course, menerbangkan diri ke podium penghargaan lomba-lomba, memenuhi CV dengan pengalaman keikutsertaan organisasi pengembangan diri-dan-karir, di antaranya.
Lalu dengan tren ini, massa mahasiswa merasa terancam karena tak bisa bersaing, lalu ikut-ikutan, lalu menambah skala dan akselerasi yang bikin fenomena ini ya makin-makin.
No offense to anyone, of course. (Hey, I’m not saying I’m not guilty either)
Kondisi di luar bubble kampus pun tak begitu membantu.
Contohnya, mahasiswa yang baru lulus saat ini berkompetisi tak hanya dengan sesamanya tetapi juga dengan dampak dari teknologi pengganti pekerja seperti AI. Konsekuensinya, tambah juga persaingan dengan orang-orang lebih berpengalaman yang sudah tergantikan/terlayoff/terefisiensikan dan sama-sama sedang mencari pekerjaan ideal mereka.
Seorang kenalanku yang cukup lama mengurus rekrutmen di suatu consulting firm besar juga bercerita bahwa sekitar 10 tahun yang lalu, hampir gak ada fresh gradute yang melamar dengan pengalaman magang. Tapi sekarang hampir menjadi template: ada pengalaman magang, ada prestasi lomba, ada portofolio project, de el el.
Standarnya makin tinggi.
Dan dengan begitu, agaknya sekarang bukan waktu yang menyenangkan untuk mencari pekerjaan. Tak heran apabila mahasiswa jaman now berbondong-bondong semakin apatis terhadap dunia kemahasiswaan yang dulu begitu riuh dan bergelora.
Tapi dipikir-pikir, valid juga memikirkan kerja. Dari perhitungan sederhana saja, tampak bahwa (minimal) 1/3 waktu tiap hari dari (minimal) 5/7 hari dalam tiap pekan selama usia produktif terpakai untuk bekerja — (minimal) hampir 1/4 dari hidup produktifnya.
Ya, sayang kalau gak worth-it, apapun definisinya bagimu.
Si Paling Fulfilled
Aku juga adalah salah satu dari mahasiswa yang terpengaruh oleh tekanan pascakampus ini. Semester ini saja aku mengikuti tiga lomba business case, menjadi associate tambahan untuk organisasi student consulting, dan magang sembari kuliah haha. Aku pun entah sejak kapan menjadi pengamat setia konten hrdbacot, ecommurz, dan thewokesalaryman. Mana sekarang di himpunan aku megang bagian professional development. Widiw.
Aneh sekalii perubahan ini. I don’t even know who this corporate-professional-seeming Rakean even is hahah. Jauh dari “aku” yang aku kira aku kenal. Ya, rasanya mungkin agak tiba-tiba, tapi aku bisa agak mengidentifikasi titik-titik perubahannya. Dan aku cukup bisa berargumen bahwa kasusku gak template (ceilah).
Aku mulai mengenal dunia uang, dampak, dan kepentingan dari memegang peran figuritas di kepanitiaan besar masjid kampus (P3RI), apalagi melalui interaksiku dengan tokoh-tokoh dan perusahaan-perusahaan. Hal ini semakin menjadi-jadi setelah ikut kelas Ethics & Social Responsibility dari The Wharton School di Penn yang mengawinkan konsep kebermaknaan dan dampak sosial dengan pragmatisme bisnis dan profit. Apalagi ditambah faktor keakrabanku dengan beberapa alumni muda yang sedang intens menaiki tangga profesional.
Dari situ aku cukup terpengaruh dan sadar bahwa aku hampir sama sekali gak ngerti dunia profesional begini. Sebagai first-generation penghuni kota, dengan orang tua dari kampung yang menjadi akademisi pula, aku tak punya referensi dekat mengenai kehidupan “orang korporat” dengan pekerjaan 9–5.
Yang kulihat ya Pak Barra dengan jadwal fleksibelnya dan kegemarannya me-livestream ujian anak orang. Dan dari kecil aku menangkap kesan bahwa apa yang Ayah lakukan memang fulfilling baginya. Orangnya demen matematika, demen ngajar, dan merasa bermanfaat pula bagi khalayak luas.
Jadi deh dengan lingkungan dekat jurusan Manajemen Rekayasa yang amat berorientasi korporat, aku kepo. Di manakah pekerjaan di luar sana yang fulfilling?
Yang selain bisa memenuhi kebutuhan finansial, bisa kukatakan dengan lantang pada diri sendiri bahwa ia benar-benar bermanfaat. Yang perintilannya tak terasa sia-sia dan bisa dengan yakin kugolongkan sebagai ibadah.
Bagiku, itulah definisi dari ~1/4 hidup produktif yang worth it.
Karena… Aku tak mau karya utama hidupku ujung-ujungnya adalah fitur obscure yang meningkatkan sales dari produk sepersekian persen yang entah menguntungkan siapa. Aku tak terbayang keseharianku dipenuhi dengan task load yang aku pribadi sulit benar-benar menjustifikasi kegunaannya— karya-wan yang tidak benar-benar ber-karya.
Dan karena tak mau pengetahuan mengenai hal-hal ini berasal dari sebatas teori kelas Wharton dan anggukan kepala sambil mendengarkan podcast Endgame-nya Pak Gita Wirjawan atau talkshow IRAMA Masjid Salman, aku memutuskan untuk melihatnya sendiri dan jadilah Rakean saat ini yang masih sedang eksplorasi dunia plofesyonal.
(Jadi ya, bukan karena FOMO [doang {I hope}])
Terkadang memang kepikiran, apa wajar mikirin beginian? Sehat? Mana masih muda…
Yang jelas, aku sadar bahwa kekhawatiran macam ini sangat privileged. Dan argumenku ya justru karena itu aku gak boleh bermimpi kecil-kecil aja. Dan justru karena itu aku gak boleh buta terhadap dunia luar sana.
Aku ingin terhindar dari perangkap blissful ignorance dalam bubble kampus yang berpotensi membuat kerdil saat menghadapi dunia pascakampus yang mengagetkan.
Tapi apa langkah-langkah yang aku ambil sudah cukup baik? Entahlah. Rasanya gak beres-beres aku berefleksi tentang hal macam begini.
Jeketi
Seperti biasa, kunjungan ke Jakarta hingga mengenakan kacamata pejalan-pekerjanya membuat teringat kembali tentang pertanyaan yang mengawali artikel ini.
Dari kunjunganku ke Jakarta minggu lalu, bangunan-bangunan tinggi Jalan Sudirman, hiruk-pikuk para pencari nafkah di KRL, catch-up dengan berbagai teman seangkatan tentang kerja praktik, dan bahkan obrolan dengan sesama tamu undangan sebuah pernikahan pun seolah bertuju pada pertanyaan itu: what am I gonna end up doing for the rest of my life?
Setiap bangunan, spanduk toko, dan kendaraan mengingatkanku bahwa ada sekian banyak orang di baliknya yang memutuskan untuk menggunakan hidup mereka untuk suatu usaha. Raut wajah lelah dibalik masker-masker dalam kesesakan TJ dan KRL pun menunjukkan sejauh mana orang rela untuk lelah dalam usahanya itu. Juga kesabaran dari para penjaga toko dan warung yang hidupnya bergantung pada hal se-tidak-pasti orang lapar yang berlalu-lalang.
Dan tentu saja banyak dari mereka yang tak punya kesempatan untuk mempertanyakan esensi dari keringat mereka selain untuk menghidupkan diri dan keluarga. Itu pun amat mulia.
Hebat bener ya, para pekerja…
Selain menyadari betapa privileged-nya pencarian fulfillment, satu hal besar yang aku pelajari dari kunjungan ke Jakarta kemarin adalah bahwa ada banyak jalan menuju fulfillment itu.
Kak Nuha, pendahulu kepanitaanku berselang empat tahun, yang nikahannya aku datangi di Jakarta kemarin, pernah berpesan bahwa biasanya orang-orang yang tidak mendapatkan fulfillment melalui pekerjaannya mencarinya di lain wadah, entah itu dengan komunitas atau project pribadinya. Itu pula yang ia lakukan di berbagai wadah kebermanfaatan di DKI. Memang menjadi agak terseok-seok, katanya, tapi bagi banyak orang itu cukup worth doing.
Ada perspektif lain juga. Kak Faris, seorang pentolan pengmas bangetnget, yang kuajak ngobrol di nikahan Kak Nuha pun mengakui bahwa perasaan direct impact dan kebermanfaatan itu juga bisa jadi hanya persoalan sudut pandang pribadi, sehingga kita tidak bisa hanya mengandalkan itu disediakan dari lingkungan atau peran yang kita ambil. Di peran yang se-impact oriented analis kebijakan pendidikan pun bisa jadi pada satu titik terasa hambar dan unfulfilling. Masalahnya terletak di seberapa mampu kita secara pribadi memandang itu sebagai kebermanfaatan, apapun itu pekerjaannya. Dan itu butuh pembiasaan serta disiplin, tentu saja.
Di pekan itu juga, Kak Royyan, manager-ku di eFishery pun sedang mempercayakan suatu kejaran besar akhir Quarter padaku yang rasanya menjadi salah satu hal paling fulfilling yang kulakukan selama aku magang di sana (mungkin karena terasa benar-benar dibutuhkan haha), meskipun jadinya di Jakarta aku selalu tidur larut malam dan mengganggu orang yang kutumpangi kamarnya (maap dan tengkyusomac, Iq). Jadi dari situ aku sadar bahwa terkadang dalam pekerjaan memang fulfillment itu episodic dan harus rela diusahakan.
Intinya, supaya kebermanfaatan (dan rasa kebermanfaatan sesuai definisi masing-masing) itu menjadi suatu hal yang “senantiasa”, harus mau capek.
//…//
So what am I gonna end up doing for the rest of my life?
Sesuatu yang bermanfaat dan terasa bermanfaat. Jadi tentu saja aku harus mau capek — mari kita lihat!
Doain yah :D
Judul terinspirasi dari chattan di grup keluarga sembari naik TJ Pinang Ranti yang padat di malam Sabtu.
// streak rilis tiap Jumat ternodai juga wkwk (gara-gara ke Jakarta Jumat lalu ceritanya), semoga bisa normal kembali //
Agak berhubungan, ada recommended read: On the Phenomenon of Bullshit Jobs (essay) -> Bullshit Jobs by David Graeber (book based on essay, one of my favorite recent reads)
Juga ada recommended watch kalau capek baca:
I’m also really considering making my own video on this topic in a more Indonesian context. Liat ntar lah ya~