The Waxing Crescent: Simbolisme Bulan Sabit

Mid-Quarter Reflection Bersama Fase Bulan Favoritku

Rakean Radya Al Barra
4 min readNov 17, 2023
Photo by Benjamin Voros on Unsplash

Seorang pemuda menatap ufuk, resah tergambar pada dahinya.

Panorama yang magis terbuka di hadapannya, didekorasi gemilang benda langit. Pemandangan yang biasanya amat menenangkan itu kali ini membuatnya termenung — alisnya mengkerut dalam konsentrasi yang panjang.

Memang, bintang dan bulan tampil begitu indah, berdansa perlahan di atas negeri awan. Mereka tergantung pada kanvas gelap langit malam yang sejatinya memiliki ribuan warna — membangkitkan jutaan nuansa.

Tapi kali ini sang pemuda menengadah ke langit dengan tatapan penuh kecewa. Kerinduan yang sesak di dadanya, gelisah yang menyelimuti langkahnya, ternyata tak dapat dijawab oleh mereka yang berlagak megah di angkasa.

Melalui perenungannya, bergumamlah ia, “Aku tidak suka kepada yang tenggelam.”

Ialah Ibrahim, sang khalilullah.

Dan melalui tanda-tanda-Nya di langit, Nabi Ibrahim ‘alayhissalaam menemukan Tuhannya.

Aku terkesima dengan langit. Apa yang ia tampilkan selalu berkesan.

Semenjak kamarku di Philadelphia memanjakanku dengan jendela lebar tepat depan meja, aku mendesain kamar baru pascarenovku untuk persis demikian juga. Aku bisa menikmati kedipan lampu kota sekaligus hamparan luas langit dengan benda-benda agungnya.

Dengan begitu, semakin mengerti juga diriku akan dasar obsesi peradaban zaman dahulu terhadap astronomi. Dan mengapa Bapak para Nabi mencari Tuhannya di langit. Langit adalah ayat dari Sang Pencipta yang menggambarkan kesempurnaannya tanpa cacat — membuat letih dan tak berdaya mereka yang memandangnya (QS Al Mulk 67:3–4).

Akhir-akhir ini aku merasakan ada sebuah pesan untukku di langit. Selama sekian bulan terakhir, waxing crescent, atau bulan sabit muda (yang warnanya relatif terang karena terjadi setelah bulan baru) entah kenapa muncul bagai senyum tepat bersamaan dengan momen-momen puncak chaos -ku— chaos kerjaan, chaos fisik, chaos batin.

Lalu dengan begitu, setiap kali break shalat ke masjid di antara kesibukan-kesibukanku atau pun saat aku mulai melamun tak fokus dan menatap jendela yang hampir tak pernah kututup itu— hadir sang sabit dengan wajahnya yang tenang. And it makes me feel a lot better. Pantas saja ia menjadi simbol Islam, mengingatkan yang memandangnya akan bermulanya cahaya dan harapan di tengah gulita.

Coba tengok langit malam ini. Seharusnya bulan masih berfase sabit muda, kalau awan tak seiseng itu untuk membentenginya. Jaga-jaga aku lupa menyapanya, aku titip salam ya.

/…/

Kebetulan juga, hari ini berada di tengah-tengah Q4, quarter terakhir tahun ini. Aku sebelumnya telah menyiapkan Q4 ini sebagai waktu untuk mekar, tapi nyatanya eksekusi dari goals besarku banyaknya kandas. Rencana replikasi akselerasi pesatku di Q3 ternyata terhalang faktor-faktor tak terduga dan salah estimasi energi diri — yang kesemuanya membuat layu.

Oktober dan November ini, aku tenggelam dalam riuh kewajiban dan dinamisnya ruang pikir yang melumpuhkan. Menempuh beban (dan jarak) semester ini banyaknya sebagai solo player lama-lama meletihkan. Dan dari segala segi — stabilitas, fisik, maupun perasaan — meskipun aku menghibur diri tuk berjalan perlahan, aku seringnya gak begitu okay.

But that’s okay.

Setidaknya ada bulan sabit yang menyapa dan menenteramkan.

Tentu bukan muara dari segala karsa, karena ia pun tenggelam, sebagaimana observasi sang khalilullah. Cukuplah sang sabit sebagai ayat yang mengingatkan bahwa Ia hadir: hasbunallah wa ni’mal wakeel. Dan senyuman di langit menjadi panggilan untuk berpikir seperti sang Abul Anbiya: sudahkah kugunakan apa-apa yang ada di hadapanku untuk semakin meneguhkan hatiku pada jalan-Nya?

langit bandung timur, unedited

Nabi Ibrahim ‘alayhissalaam memberikan contoh pendewasaan dalam iman yang sesungguhnya. Keresahan berperadabannya membawa beliau ‘alayhissalaam menuju perenungan, eksplorasi, hingga kesimpulan tauhid laa ilaaha ilallah. Dan tak hanya itu. Manusia setingkat Nabi Ibrahim pun mengakui kelemahannya — dan dengan begitu terus meminta tanda agar dapat dikuatkan imannya.

Kesemuanya tentu menjadikannya dan keluarganya suatu rujukan mulia dalam sejarah semesta. Ketakutan akan api, kesedihan akan pengorbanan, kekhawatiran akan kehilangan — semua yang di luar akal rasional manusia beliau hadapi dengan iman kepada Allah dan kehendak-Nya. Dan beriringan dengan ikhtiar — itulah cara lulus dari para ujian duniawi.

Iman is conviction. Iman is security. Iman is salvation.

17 November, 2023. Aku harus menata diriku dan imanku hingga bisa lantang kuberkata,

“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.”
- Q.S. Al An’am 6:79

--

--