Vienna & Bogor: Kiat-Kiat Berambisi Sehat
Antara Hidup Medioker, Hustling, dan Keseimbangan
Slow down you crazy child
You’re so ambitious for a juvenile
But then if you’re so smart tell me,
Why are you still so afraid?
Obrolan panjang bersama teman sebangku SMA-ku, Rajji, cenderung berisikan catch-up kehidupan yang biasanya dapat diabstraksi menjadi suatu “tema besar” food for thought kami pada saat itu. Kali ini tema besarnya adalah ambisi. Di tengah hiruk-pikuk sebuah kerjaan bersama di Bogor, Rajji mengutarakan sebuah poin unik, “Kayaknya urang jadi ngerti kenapa bapak-bapak udah gak berambisi.”
Kata Rajji
Where’s the fire, what’s the hurry about?
You better cool it off before you burn it out
You got so much to do and only
So many hours in a day
Setelah hari panjang yang entah kenapa rasanya terlalu banyak duduknya sekaligus terlalu banyak bergeraknya, kami menemukan sudut semi-outdoor untuk ngopi hingga larut malam — sekaligus menyelesaikan beberapa deadline dunia Bandung yang masih menghantui.
Rajji sang mahasiswa-dirgantara-berhati-seniman pun bercerita mengenai impian-impiannya di dunia kreatif yang sejak dahulu ia kejar secara obsesif. Sebagai gambaran, saking kahatean-nya seorang Rajji di ekskul kabaret sewaktu SMA, sampai saat ini ia masih aktif melatih dan membimbing adik-adik di sana. Selain itu, ia juga mengumpulkan portofolio kreatif mentereng dari berbagai proyek klien di production house yang ia dirikan.
Dari sudut pandangku, sebagai pengamat perjalanan seorang Rajji dari tahun ke tahun, aku menangkap bahwa ada kalanya ia menolak “identitas paksaan” berupa mahasiswa teknik dan lalu overcompensate dengan menyibukkan diri di dunia media kreatif— with many sacrifices.
Lalu setelah hustle — sebuah pendakian tanpa henti berbulan-bulan yang melibatkan juggling desain pesawat udara dengan desain requestan klien — ia akhirnya mencapai puncak gunung yang ia harapkan.
“Urang di job kemaren akhirnya ngerasain megang satu studio gede pisan, segala macem dari klien, bisa request alat sama properti yang bagus-bagus, ngasih creative direction, dan bisa sebebas itu litereli kumaha aing. Sa-gelo eta. Terus jadi nanya ke diri sendiri: Oh ini yang maneh mimpiin dari dulu, Ji?”
Aku bertanya, “Terus maneh ngarasa kumaha?” — Lu ngerasa gimana?
“Nyaa alhamdulillah,” Ia tersenyum, “Urang udah mati-matian dan reached my dream, tapi ya— that’s it. Jadi sekarang rasanya udah gak ada… apa ya, gak ada…”
“Hunger?”
“Yes,” Rajji melanjutkan, “Urang dari dulu gemes sama orang-orang tua yang setiap hari gitu-gitu aja terus suka membatas-batasi kaya ‘si eta ga punya mimpi gitu?’ Tapi sekarang baru ngerasa mimpi-mimpi udah mulai achieved. Jadinya urang ngerti kenapa old people ketawa aja ngeliat kita da pasti si eta pernah ngerasain yang sama. Terus kalo dulu kita dikasih tau sama ortu gak usah buru-buru juga percuma, karena itu mah harus ngalamin sendiri.”
“Haha, Vienna pisan, Ji.”
“Asli, theme song aing pisan parrrah eta ayeuna.”
But you know that when the truth is told
That you can get what you want
Or you can just get old
You’re gonna kick off before you even get halfway through
When will you realize… Vienna waits for you?
Yak, please excuse our Sundanese.
Intinya, racauan Rajji memantik pikiranku juga, karena kita kebetulan satu fase. Pada tahap hidup sekarang, aku pun merasakan sebagian besar dari impian naifku terceklis satu-satu.
I’ve had my fifteen minutes of fame. My American dream. My attempt at high-stakes leadership. My community. My writings that people actually read. My stint in video journalism. Et cetera. I could taste the nuanced details of my childhood dreams in the form of tangible reality.
Dan setelah mendapatkan apa yang diinginkan, jarang sekali ada rasa closure yang memuaskan. Lebih ke, “Oh gini? Yaudah.” Atau juga, “Oh gini doang? I expected more, I want more, and I’ll get more.”
Tapi semakin ke sini, rasanya segala pencapaian cenderung konvergen ke “oh gini” yang pertama.
Berhubungan dengan itu, pada suatu titik dalam pembicaraanku dengan Rajji, aku menambahkan, “Jadi inget kata Kang Yasir, Ji…”
Kata Kang Yasir
Slow down you’re doing fine
You can’t be everything you want to be before your time
Although it’s so romantic on the borderline tonight
Salah satu tahapan paling transformational dalam hidupku adalah mengemban amanah sebagai ketua umum ekstrakurikuler rohis “Nurul Khomsah” (alias NK) semasa SMA yang rasanya memperluas sudut pandang mengenai potensi kreasi sebagai seorang pemuda.
Dan di awal masa kepengurusanku di sana, aku ingat ada satu obrolan membekas bersama seorang alumni, Kang Yasir, yang juga pernah mengemban amanah yang sama. Meskipun usia kami berselang lebih dari 10 tahun, ia masih cukup concern dengan NK untuk mau turun tangan dan mengajak si-ketua-baru-polos untuk ngopi.
Dalam obrolan tersebut, Kang Yasir memberikan banyak sekali saran yang terabstraksi dari berbagai pengalamannya di SMA, kampus, juga dunia kerja. Poin cerita ini di sini bukan substansi dari saran-sarannya, tapi bahwa aku menangkap kesan Kang Yasir sebagai seorang “aktivis tulen” ambisius yang tak bisa tinggal diam — tercerminkan juga di dunia profesionalnya yang banyak nyemplung ke start-up.
Tapi beberapa hari yang lalu, Kang Yasir men-tweet cuitan berikut:
Bukan bermaksud memberikan judgment apapun atau gimana, tapi lucu aja kesan “maturity” yang aku tangkap dari cuitan ini muncul di waktu yang kurang-lebih sama dengan pembicaraan dengan Rajji di atas. Pembicaraan dengan Rajji pun lucu karena muncul di saat aku juga sedang banyak merenungkan whatever-the-heck-it-is yang sedang kulakukan saat ini. Hmm. Seolah-olah pada triwulan ini memang ada tema besar “maturing ambitions” yang sedang Allah rangkai untukku.
Jadi dalam rangka mengangkat diskursus ambisi ini yang semakin riuh di kepala, aku ingin sedikit merangkai pendapatku dalam tulisan ini. Dan bicara konteks ini, aku otomatis terpikirkan sebuah pembicaraan lain, 16 thousand kilometers away.
Kata Kak Zhafira
Too bad, but it’s the life you lead
You’re so ahead of yourself that you forgot what you need
Though you can see when you’re wrong
You know you can’t always see when you’re right
“We don’t all have to be Mark Zuckerberg.”
Very aptly, kata-kata tersebut aku dengar di Harvard, kampusnya Zuckerberg, dari salah satu mahasiswa S2-nya, Kak Zhafira Aqyla, seorang content creator dan pendiri platform edukasi Taulebih.
Aku berkesempatan untuk menemuinya saat sedang berkunjung ke Massachusetts, dan diajak tur keliling Graduate School of Education. Jadi, kami berbicara tentang berbagai hal — salah satunya privilege. Lantas, kami berdua mengakui sangat privileged, dan terkadang itu memunculkan beban untuk menjadi sesuatu.
Terlepas dari tujuannya — kita bahas dimensi ini nanti — banyak sekali orang yang rela hustling demi pencapaian besar. Menjadi kaya, menjadi viral, mendirikan startup, masuk TV, menjadi orang berpengaruh. You name it. Dan ada segolongan orang yang mungkin merasa tidak proper kalau tidak benar-benar menjadi sesuatu. Dan terkadang perasaan ini lahir dari semacam privilege-induced guilt.
Menanggapi hal ini, Kak Zhafira — yang mungkin terlihat begitu ‘beres’ pun— mengakui bahwa ia pun hasn’t got everything figured out. Dan dalam kecenderungan orang high-achievers untuk terobsesi hustling demi pencapaian setinggi-tingginya, Kak Zhafira mengingatkan bahwa pada akhirnya kita tak benar-benar punya keharusan atau pun kendali untuk berambisi sejauh itu.
“We don’t all have to be Mark Zuckerberg — we can’t all be Mark Zuckerberg. So we’ve got to appreciate whatever it is we can do, right?”
Aku jadi teringat bahwa, memang, kesuksesan tak benar-benar self-made. Inilah satu poin utama dalam buku “Outliers”-nya Malcolm Gladwell yang membahas kehidupan orang-orang sukses. Menurut Gladwell, terlalu banyak faktor luar dan faktor kebetulan dalam hidup sehingga kurang elok jika kita atribusikan kesuksesan semata-mata pada usaha.
Misalnya, Bill Gates, Bill Joy, Steve Jobs, Eric Schmidt, dan nama-nama besar lain di dunia software banyaknya lahir di tahun 1950-an. Kelahiran pada rentang tahun tersebut beserta privilege yang mereka miliki (seperti akses ke universitas tertentu) membuat mereka cukup siap untuk personal computer revolution di tahun 1975 dan bisa menjadi nakhoda-nakhoda era baru tersebut. Jika Bill Gates terlahir sedekade lebih awal, kemungkinan besar ia tidak akan menjadi tokoh dunia seperti sekarang.
‘Keberuntungan’ yang sama dirasakan oleh para industrialis sukses yang terlahir di tahun 1830-an, pemain hockey sukses asal Kanada yang terlahir dari Januari hingga Maret, dan juga para pengacara Yahudi berdaya saing tinggi di New York. (Elaborasinya silakan baca di “Outliers”, very recommended 👍🏼)
Mereka memang berusaha dengan amat keras, tetapi itu tak terlepas dari faktor lingkungan dan sistemik di luar kendali.
Tentu saja sebagai muslim yang mengimani takdir, simpulan ini seharusnya tidak mengagetkan. Hanya saja, mungkin kita sering lupa dan malah menghardik diri sendiri ketika gagal mencapai definisi sukses supertinggi yang kita sendiri tetapkan (yang entah untuk apa juga). Itulah akibat langsung dari terlalu merasa entitled terhadap suatu hasil hanya karena kita berusaha — padahal “Outliers” mengajarkan bahwa it’s much more complex than that.
Dalam konteks ini, aku teringat para motivational content creators di luar sana yang mendukung ambisi tanpa akhir dan preaching soal penolakan kehidupan medioker.
Aku sendiri menganggap there’s nothing wrong with being mediocre — bagi yang memang merasa cocok dan punya alasan baik untuk demikian.
Yang menjadi masalah bagiku adalah orang yang sudah mantap untuk hidup medioker tetapi judgmental terhadap para hustler, atau sebaliknya, terutama jika kurang ada alasan mendasar dibalik stance-nya— seperti sang bankir pada cerita “Mexican fisherman”. Lalu terjadilah semua keributan di kolom komentar.
Terus, stance aku bagaimana?
Untuk aku, rasanya cukup sayang dan kurang bersyukur kalau modal privilege dan segala keberuntungan yang kuraih berakhir di suatu jalan yang biasa-biasa saja.
Sehingga ketika ada teman yang bertanya:
Aku menjawab:
Tetapi sebaliknya, aku mulai sadar bahwa hustling tiada akhir (buatku setidaknya) cenderung membuat pandangan kabur terhadap alasan bekerja keras in the first place. Ada sesuatu — entah ego, entitledness, atau apapun itu— di balik obsesi yang memaksa untuk lari maraton.
Jadi, akhir-akhir ini aku mulai belajar untuk berambisi yang tak harus lari, tetapi berani untuk perlahan:
It takes courage to live softly… It is an act of bravery to decide to feel safe enough to just be. — India Ame’ye
Kata Mas Gibran
You got your passion, you got your pride
But don’t you know that only fools are satisfied?
Dream on, but don’t imagine they’ll all come true
When will you realize… Vienna waits for you?
Gibran Huzaifah, CEO dari sang unicorn eFishery, pernah menulis tentang ambisi di Medium-nya. Mas Gib membawakan konsep, “Ambisius Non-Materialistis” yang amat menarik.
Premisenya, ada pebisnis dari Tiongkok yang mengomentari etos kerja orang Indonesia yang terlalu nyantuy, sehingga Mas Gibran berefleksi mengenai perilaku masyarakat kita. Tentu, salah satu observasi yang otomatis teringat adalah bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang relijius dan cenderung melibatkan orientasi akhirat.
Terkadang, orientasi akhirat ini menjadi pembenaran untuk tidak perlu bekerja keras dan berambisi di dunia ini. “Toh semua orang akan mati.” Dengan demikian, kultur kita tidak punya mobilitas vertikal yang sekencang Tiongkok, misalnya, dengan orientasi materi yang jelas dan mudah diukur.
Akan tetapi, Mas Gibran (dan aku juga), yakin bahwa hadirnya orientasi akhirat sejatinya tidak dirancang untuk membelenggu. Karena, “Segala bentuk karya positif bisa diterjemahkan sebagai amal, yang juga kelak menjadi hitungan timbangan kita setelah mati.”
Menurutnya, “ambisi materialistis” seharusnya dilakukan semata-mata untuk meningkatkan kapabilitas dan ruang gerak agar bisa beramal dengan lebih advanced. Uang dan posisi menjadikan kita lebih leluasa untuk membangun masjid di pelosok, membasmi kelaparan nasional, atau mendisrupsi sistem pendidikan dunia, misalnya.
“Jadi, jika argumentasi soal kultur kita yang relijius menghambat kita untuk bisa memiliki dorongan untuk bekerja keras, ini tidak sepenuhnya benar. Yang salah bukan pandangan relijiusnya tadi, tapi mindset kita yang terlalu sempit untuk menilai hal-hal yang berkontribusi ke target non-material.”
Poin yang amat menarik dari tulisannya adalah keunggulan ambisi nonduniawi dalam hal kepuasan yang diraih. Justru karena ambisi duniawi memiliki sifat jelas dan mudah diukur, ada diminishing gains pada kepuasan yang kita dapatkan setelah usaha. Ada batas kepuasan yang dikejar. Sementara, ambisi yang murni didasari nilai serta niat yang tepat, tidak akan ada batas kepuasan.
Jika motivasi berambisi kita murni (AKA ikhlas), tidak akan ada rasa entitlement atau perasaan berhak terhadap hasil usaha. Jadi apabila kita terburu-buru, cenderung sulit puas, dan terobsesi dengan target jangka pendek, jangan-jangan masih ada sesuatu yang mengotori ambisinya?
Kata Billy Joel
Slow down you crazy child
Take the phone off the hook and disappear for a while
It’s alright, you can afford to lose a day or two
When will you realize… Vienna waits for you?
Billy Joel, pengarang dan penyanyi lagu hit “Vienna” dari Amerika yang lirik-liriknya tersebar dalam tulisan ini, terinspirasi untuk menulis lagunya dari sebuah kunjungan ke Vienna. Ia pergi ke sana dalam rangka mengunjungi ayahnya — seorang pebisnis asal Jerman — yang pisah dengan ibunya dan kembali ke Eropa saat Billy masih kecil.
Saat sedang quality time bersama ayahnya di kota Vienna, Billy melihat seorang wanita tua yang sedang bekerja menyapu jalanan.
“Yah, kayaknya agak sedih deh wanita tua itu harus kerja kayak gitu.”
Ayahnya membalas, “Bukan gitu. Dia punya pekerjaan, dia merasa berguna, dia punya peran di masyarakat.”
Billy tertegun. Dalam berefleksi tentang hal ini, ia mengakui, “I realized they [Europeans] don’t throw old people away like we tend to do here in the States. They allow for people who are aged to have a useful place in the scheme of things, and I thought, ‘ya know that’s a good metaphor for someone my age to consider.’ You don’t have to squeeze your whole life into your 20s and 30s trying to make it, trying to achieve that American dream, getting in the rat race, and killing yourself. You have a whole life to live. I kind of used ‘Vienna’ as a metaphor, there is a reason for being old, a purpose.”
Kita yang muda dan naif menuntut diri dan dunia untuk dapat menghasilkan output secepat-cepatnya. Masyarakat pun cenderung mendukung narasi ini. Melalui lagunya, Billy Joel mempertanyakan — apakah ini pandangan yang bijaksana?
Kita kembali ke Rajji, yang sedang senang-senangnya dengan lagu “Vienna” ini. Menanggapi paradoks antara obsesi berkarya dengan batasan wajar, Rajji menganggap bahwa kuncinya adalah balance.
Pada suatu titik, kita akan menyadari bahwa ambisi seringkali berasal dari emotional imbalance. Bisa jadi dalam alam bawah sadar, pengejaran mimpi-mimpi dilakukan sebagai reaksi terhadap suatu luka batin yang belum selesai. Toh kurangnya apresiasi di masa kecil dapat membuat seorang overcompensate dan terobsesi membuktikan diri, tanpa disadarinya.
Ambisi yang imbalanced adalah api yang cenderung mengorbankan diri dan orang lain, menghabisi segalanya. Di sisi lain, jika ia ditangani secara deliberate dengan cekatan, ia bisa menjadi sumber kehangatan bagi semesta.
Tanpa perhatian kepada akar-akar dari sebuah ambisi itu sendiri, bisa jadi kita terjebak pada treadmill dan terus-terusan mengejar fatamorgana. Dan dengan begitu segala pencapaian terasa hampa — which isn’t worth the effort anyway, no?
And you know that when the truth is told
That you can get what you want or you can just get old
You’re gonna kick off before you even get halfway through
Why don’t you realize… Vienna waits for you?
Masing-masing diri kita punya rezeki dari Allah berupa hidup yang terlalu sayang untuk didzalimi demi ambisi tak murni yang mati-matian dikejar dan bila didapat pun cenderung tak menghasilkan kepuasan yang berarti.
Dengan begitu, mengapa harus buru-buru?
So don’t forget to smell the roses, eh? Cuz man:
When will you realize… Vienna waits for you?