Rumah Belajar Semi Palar

Tempatku Belajar Bermasyarakat

Rakean Radya Al Barra
10 min readMay 24, 2024

Ia tidak dikedepankan sebagai ‘sekolah’, melainkan ‘rumah belajar’. Ia tidak sekadar mengedarkan ‘Surat Tanda Tamat Belajar’ (STTB), melainkan ‘Sertifikat Tanda Belajar itu Tidak Pernah Tamat’ (STBTPT). Ia tidak ‘menjual jasa pendidikan’, melainkan ‘membuka ruang kerjasama pendidikan’. Ia tidak memberikan ‘tugas’, melainkan ‘tantangan’.

Dan dalam waktu dua tahun, ia membentuk ‘mode beroperasi’ seorang Rakean Radya.

Apatuh, Semi Palar? Kenapa?

Dari Ririungan Semi Palar

Rumah Belajar Semi Palar, akrab dipanggil “Smipa”, adalah sekolah swasta di daerah Sukamulya, Bandung, yang merupakan tempat kubersekolah untuk kelas 7 dan 8 SMP, sebelum akhirnya memilih berpindah sekolah mengikuti pindah rumah ke ujung timur Bandung (kejauhan wak).

Smipa mengusung metode pendidikan alternatif yang disebut “Pendidikan Holistik” dari jenjang KB hingga SMA yang dikembangkan secara mandiri oleh timnya. Ada pun kata kunci ‘holistik’ di sini memiliki artian ‘menyentuh seluruh dimensi kemanusiaan individu secara utuh dan seimbang’. Siswa-siswi di Smipa didorong untuk menemukan bintangnya sendiri, dibekali safe place to learn yang memfasilitasi penemuan tersebut — baik dari sumber daya maupun tenaga pendidik — dengan penuh keyakinan bahwa segala pembelajaran akal-fisik-jiwa itu interconnected sehingga semestinya dibina secara interconnected pula.

Filosofi dasar ini membuahkan beberapa praktik yang unik seperti project-based learning (dijelaskan di subbagian selanjutnya), desain sekolah bergaya communal space asyik, mengawali KBM tiap harinya dengan ‘waktu hening’ bersama, dan bahkan nuansa egaliter yang menormalisasi pemanggilan semua guru Semi Palar dengan sebutan “Kak” — terlepas usianya.

Kenapa Smipa? Sebetulnya agak sederhana haha. Kala itu selepas kelas 6, aku sendiri kondisinya baru tinggal dua tahun di Indonesia setelah pulang dari US, belum bisa bahasanya, dan dirasa akan kesulitan kalau dipaksa masuk sekolah formal biasa. Lalu, karena anak dari rekan sekantor Ayah, Ara, bersekolah di Smipa, jadinya kami punya testimoni tempat. Orang tuaku sebagai praktisi homeschooling, khususnya Ibu, pun cukup melek akan isu-isu pendidikan dan merasa cocok dengan ekosistem yang dibangun Smipa — jadi deh. Pilihan sederhana.

Kini, sebagai abang-abangan tingkat akhir yang konon mulai banyak pengalamannya, aku merasa bahwa cukup banyak sikap dari diriku yang bisa kuatribusikan kepada pembelajaran tertentu di Smipa. Kebetulan juga, Koordinator Jenjang SMP Smipa kala itu, Kak Danti, beberapa bulan yang lalu memintaku untuk menulis tentang Smipa juga.

Jadi deh aku buat tulisan ini~ wkwk semoga seru ngebacainnya ya, Kak!

Eniwei, di sini aku akan coba sharing seingatku tentang Smipa, barangkali ada hikmah-hikmah keren yang bisa teman-teman lain petik juga. Sebab, ia jelas begitu berpengaruh secara pribadi terhadapku. So, I hope I do it justice :)

Project-Based Learning

K7 Bunga Lawang, setelah berpresentasi tentang Bandung Purba ke pakar geografi | dari Unggahan Pribadi Bapak Titi Bachtiar

Sebagai disclaimer yang penting, aku hanya bersekolah di Smipa selama dua tahun — di SMP-nya pula. Jadi terbatas pada itulah sharing-ku. (But that should say a lot because I think I learned a ton in just two years)

Menurutku, hal yang paling gamechanger dari pengalamanku di SMP Semi Palar adalah penggunaan project-based learning sebagai ruh dari pengalaman pembelajarannya. Singkatnya, di samping mata pelajaran SMP biasa, terdapat waktu khusus setiap hari untuk menggarap suatu project dalam subtema yang sedang digeluti. Project ini bisa bermacam-macam, dari pembuatan peta tematik atau dokumenter hingga penyusunan rencana perjalanan atau maket 3D. Konsep ini mungkin lebih jelas dalam foto berikut.

Dari Mikrositus SMP Semi Palar, dengan video yang disebut

Yang kurasakan, project-based learning ini memberikan keleluasaan kepada si kami untuk menemukan jawaban dan solusi secara mandiri dalam lingkungan yang serba bebas nan open-ended.

Contohnya, sebagaimana dikemukakan dalam video ini, adalah mengajarkan mengenai Pembangkit Listrik Tenaga Bayu. Alih-alih ‘hanya’ berkunjung ke PLTB dan kembali ke sekolah untuk diberikan lecture searah tentang pentingnya energi berkelanjutan (yang sebetulnya juga jauh melampaui standar di Indonesia), peserta didik bisa dipantik untuk bertanya-tanya mengenai isu energi berkelanjutan dan menjalankan proses pembelajaran mandiri untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut — dalam kerangka project. Peran guru atau pendidik adalah sebagai fasilitator yang memberikan struktur dan feedback yang dibutuhkan untuk project (dan pembelajaran) yang sukses.

Rasanya, banyak sekali hal dalam project kami yang dalamnya kami dibebaskan untuk membuat kesimpulan (dan jalan) sendiri — mendesain pengalaman belajar pribadi sekaligus hopefully a delightful surprise untuk para kakak pengajar. Contohnya adalah proyek dokumenter yang menantang kita untuk mempresentasikan suatu konsep mengenai Bandung di masa kolonial dalam bentuk video. Kelompokku memilih untuk mengkaji konsep nongkrong di etnis Belanda, Tionghoa, dan Pribumi di masa tersebut— suatu temuan yang mengantar kami pada kesempatan terbatas untuk syuting dan tur khusus di Gedung Asia Afrika (ternyata dulunya dipakai tempat party-party para bule kolonial) dan menjadi titik awal aku belajar edit video. Dipikir-pikir keren juga. Dan itu baru satu project; bisa ada sekian belas dalam satu tahun.

sayangnya aku gak nemu dokumenternya, jadi ini covernya aja yah

Oke, oke. Sekarang mungkin timbul pertanyaan, “Tapi Rak, kalo isinya proyek mulu, kapan waktu belajar konvensionalnya?” Toh negara punya standar pendidikan sukses sendiri; bagaimana bisa bersaing?

Kami tetap belajar, kok, dengan pace yang Smipa tentukan. Tetap ada jam belajar sebagaimana sekolah biasa — dengan perbedaan krusial dalam hal rasio guru-murid karena kelas kami hanya ber-16. Lagipula, semua ‘gimik Smipa’ — dari proyek hingga Leumpang ka Sakola tiap tanggal 22 hingga Jabawaskita (jam baca) tiap Jumat— itu bukan gimik tapi lagi-lagi Pembelajaran Holistik. Dan sebagai wadah pembelajaran holistik, proyek pun dirancang untuk bisa mengakomodasi pembelajaran ‘biasa’: IPS dengan observasi sejarah dan sosial-masyarakat yang kami lakukan, IPA dengan unsur physical feasibility dan tinjauan ekologis dari solusi-solusi yang kami ideasikan, dan tentu kemampuan berbahasa dalam berinteraksi dengan masyarakat (we did a LOT of wawancara).

Dan mungkin salah satu contoh unik lainnya yang entah kenapa sampai sekarang aku ingat adalah pengalaman menghafal berbagai jembatan keledai biologi tentang jenis-jenis sendi di Gedung Indonesia Menggugat, dalam satu outing/Perjalanan Kecil yang agak berbentuk Amazing Race melintasi Bandung — entah apa hubungannya, yaa intinya bisa aja disambung-sambung haha. Dan aku yakin ada berbagai pengalaman serupa lainnya yang berhasil memadukan ‘pelajaran kurikulum’ dengan proyek-proyek yang kami garap.

Kalau ditulis sambil mencoba mengingat-ingat, memori tentang proyek-proyek ini seolah tak habis-habis hahaha. Sebanyak itu yang kami sikat tiap tahun. Jadinya lama-lama terbiasa dengan konsep-konsep dan implementasi dari systems thinking, design thinking, ideasi, terjun ke masyarakat, memberi dan menerima feedback, manajemen tim, dan juga menavigasi drama-drama interpersonal ala anak SMP yang tentu pasti terjadi. Khatam laah: holistik!

Belajar Menjadi Pejalan

Pejalan dan perjalanan is my thing.

profilku per Mei 2024

Aku cukup yakin bahwa kenyamananku terhadap ketidaknyamanan perjalanan, kebiasaanku untuk meng-immerse diri dan menarik hikmah sebanyak-banyaknya melalui kacamata pejalan, bahkan keberanianku untuk perjalanan (mostly) solo melintasi 12 negara bagian selama di USA kemarin merupakan buah dari bibit-bibit dalam diri yang tersemai di Semi Palar.

Dalam project-based learning, tak mungkin kami bocil dibiar terkurung dalam sekolah. Lantas apa gunanya project yang tidak betul-betul nyata? Butuh perjalanan untuk mempekakan indra terhadap kenyataan.

Dengan demikian, di Smipa terdapat konsep outing atau simply pembelajaran di luar kelas, yang cukup sering dilakukan. Tak jarang ini melibatkan interaksi langsung dengan masyarakat sekitar. Salah satu contoh besarnya adalah Nyaba Lembur atau live-in di kelas 7, yang mana kami sekelas ikut tinggal di desa nan jauh (dapat ‘keluarga asuh’ semacam KKN) dan ikut hidup selayaknya warga di sana.

Konsep ini dibuat lebih mantap lagi di kelas 8, yang arguably merupakan ‘tahun puncak’ berpoyek dan berproses di Smipa. Sejak awal masuk, kami diwanti-wanti bahwasanya akan ada Perjalanan Besar ke provinsi sebelah. Kami diminta untuk menabung, menyiapkan fisik-mental, dan merancang rencana riset di sana. Untuk tahunku, temanya adalah sungai. Dan kami ditantang untuk menemukan dan memberikan solusi terhadap permasalahan yang dirasakan oleh masyarakat yang bermukim di pinggir sungai.

Dengan begitu, sebelum Perjalanan Besar tersebut (ke Bengawan Solo dan Kali Code), kami melakukan beberapa Perjalanan Kecil di sekitar Bandung untuk memahami konteks dari masyarakat sungai dan berlatih dalam ‘skil perjalanan’. Kami hanya dibekali dengan uang, peta, dan instruksi berupa poin-poin misi yang harus diselesaikan pada Perjalanan Kecil tersebut. Lalu bertebaranlah kami, dengan misi kelompok masing-masing, hanya berkomunikasi via satu HP Nokia jadul (HP aslinya disita) di tiap kelompok. Ril, riskan, seru! :D

keseruan beberapa Perjalanan Kecil

Kami pun menghadapi Perjalanan Besar dalam keadaan terlatih, membopong-bopong tas-tas berat melintasi Solo dan Jogja selama sekian hari dalam kelompok-kelompok kecil — masing-masing berinvestigasi dan merumuskan solusi untuk masyarakat sungai. Cerita perjalanan masing-masing anak pun dipadukan menjadi satu buku utuh, lengkap dengan foto dan ilustrasi, yang berjudul “Terikat Oleh Air” dan di-launching dengan acara di pendopo sekolah. Aku ingat waktu itu cukup stress menjadi penyunting utamanya hahaha.

Kami berulang-ulang diajarkan cara membaca situasi, cara berbicara dengan orang, cara mempertanyakan keadaan, dan kemampuan-kemampuan fundamental lainnya yang hanya dapat dikembangkan melalui jam terbang. Aku pun menajamkan hal-hal ini melalui perjalanan pulangku — karena aku adalah pengguna angkutan umum — dan banyak belajar dari jalanan, bus, dan angkot Kota Bandung. Pantas saja kala itu aku tiba-tiba bisa mudah berkomunikasi dan nyaman saja untuk ngabolang sendiri ke mana-mana.

Perjalanan Besar

End

Di Tepian Bengawan Solo

Setelah kutengok-tengok tulisanku di atas bagian ini, kelihatannya alih-alih menjadi esai koheren, aku malah bicara ke mana-mana dan overshare banyak contoh anekdotal seenaknya hahahaha. Tapi tak apa lah, dengan demikian tulisan ini menjadi agak ‘murni’.

Oke.

Setelah cerita-ceritaku di atas, mungkin timbul pertanyaan mengapa tidak semua sekolah menerapkan sistem selayaknya Smipa. Toh ilustrasi si Rakean di sini agaknya terdengar perpek pisan. Well, of course, nothing’s perfect. Untuk pertanyaan tadi, pertama, menurutku jelas tidak semua siswa akan sepenuhnya cocok dengan project-based learning macam di Smipa, belum lagi menginternalisasi pembelajaran-pembelajarannya secara reflektif dan sadar. Toh masih SMP juga.

Kebetulan saja aku dan karakterku sangat cocok. Dan sebagai siswa waktu itu pun terasa bahwa aku mungkin ‘lebih cocok’ dibanding rekan-rekan lainnya — mungkin termasuk salah satu yang paling banyak menangkap pembelajarannya. (Bukan soal ‘kebaikan’, hanya ‘keselerasan’)

Selain itu, fokus pada proyek bisa membuat pandangan sedikit kabur terhadap akademik, terutama bagi siswa seperti si sayah yang cenderung obsesif dan lebih senang dengan shiny plaything berupa proyek dibanding grinding ujian, misalnya hahaha.

Ada pun the sheer logistics of merancang, mengorganisasikan, mengeksekusi, dan mengevaluasi model pembelajaran yang seperti ini dengan perhatian ke perkembangan murid yang sebegitu personalnya. Sungguh, salut sekali untuk pengajar-pengajar di Smipa yang pastinya pusing tujuh turunan dalam mengurus si kami. Aku masih ingat ekspresi-ekspresi lelah kakak-kakak dalam segala konteks “nulis rapor”, misalnya :D (rapornya beresai-esai, berisikan observasi pengajar terhadap perkembangan holistik sang murid)

Terlepas dari itu semua, dan segala kesulitan dalam merealisasikan idealisme Semi Palar, aku pikir aku benar-benar dibekali dengan baik selama dua tahun itu. Dan bekal itu membekas hingga sekarang. Terbayang juga barangkali ada pembaca-pembaca yang lebih baru mengenalku dan bergumam, “Oh pantes aja ni anak gini…” saat membaca pengalaman ber-Smipa-ku di artikel ini, sebagaimana sering kurefleksikan ketika kujumpai sifat-sifat tertentu pada diriku. Pantes wehh…

Maka dengan itu, aku ingin berterima kasih kepada our homeroom teachers, Kak Mar, Kak Priska, Kak Aganiz, Kak Koben, Kak Danti, Kak Listi, Kak Braja, dan Kak Nala, yang jadi fasilitator dari segala proses penemuan bintang itu. Also a massive shoutout untuk Kak Andy, Kak Lyn, dan Kak Ine sebagai pemrakarsa — orang-orang Semi Palar yang ada sebelum Semi Palar. Semoga tetap dijaga dalam jalan kemaslahatan dan idealisme yang always membara, di mana pun wadahnya.

Kudos untuk Smipa’17 (or Bunga Lawang or Malabar or Vaquita): Alez, Ara, Arvin, Dyah, Fikri, Jordy, Marcel, Najla, Nathan, Ravi, Sha, Sistha, Tia, Vito, Zheva yang jadi teman perjalanan kala itu. I wonder how all of you are doing now! :D

Juga salam untuk tokoh-tokoh lainnya dari kakak-kakak, ortu, pegawai (+ keluarga Bu Soem) yang tak bisa disebut satu-satu. Seru juga bernostalgia~

Yak, intinya, walaupun subjudul dari artikel ini adalah “Tempatku Belajar Bermasyarakat” (clickbait karena aku tahu pegiat sosmas akan senang dengan konsep-konsep di sini), tak salah juga apabila Smipa kusebut sebagai “Tempatku Belajar Hidup”.

And I think I’m doing a pretty decent job at that.

source: Facebook Semi Palar

--

--

Rakean Radya Al Barra

mengumpulkan buah perjalanan | berbagi tiap jumat (and sometimes wednesdays)